Ada Apa Jason Balompapueng Hadirkan Anies sebagai Pembicara Webinar, Pragmatisme PGPI?

Hila Bame

Sunday, 25-04-2021 | 19:53 pm

MDN

 

Oleh : Welly Chan

 

JAKARTA, INAKORAN

"Bung Ade Armando atau Bu Yenny Wahid. Rekam jejak dan konsistensi mereka menjadi pejuang kebhinekaan di NKRI sudah tidak perlu diragukan lagi". 

Keluar dari konteks acara.
Dari segi konteks acara,  ini adalah acara Paskah program pengurus pusat PGPI (Persekutan Gereja-Gereja Pentakosta Indonesia) yang dibuat dalam format rangkaian webinar Pentakosta.

Paskah berbicara tentang pengorbanan Kristus untuk mendamaikan orang berdosa pada Allah Yang Maha Kudus.

Sedangkan Pentakosta adalah intervensi TUHAN mencurahkan Roh Kudus kepada para murid-Nya guna memampukan mereka untuk mengasihi dan pergi memberitakan kabar sukacita bagi mereka yang masih dibelenggu dosa.


BACA:  

PGPI Menutup rapat mata, umat Kristen menjadi korban dari ketidakberagaman

 


 

Melalui Paskah maupun Pentakosta kita dapat dengan mudah melihat bagaimana TUHAN-lah yang menjadi Subyek peristiwa dan manusia berdosa sebagai obyek kasih Allah di mana dalam peristiwa Pentakosta TUHAN mencurahkan Roh Kudus-Nya untuk menyertai pelayanan para murid-Nya. 

Acara ini sewajarnya menghadirkan pembicara seiman yang terbukti dan cakap menempatkan TUHAN sebagai Pemimpin, Pelindung, Pemelihara, dan Pemberi kuasa dalam pelayanan di gerejanya sehingga melalui acara ini ada impartasi kuasa pada seluruh sinode gereja yang menjadi anggota PGPI agar lebih berani berkorban dan mengasihi Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa, bahasa, agama dan budaya ini. 


BACA:  

Kasus COVID-19 India mencetak rekor global baru untuk hari ke-4 berturut-turut

 


Hal ini jadi sangat aneh ketika BPH PGPI justru mengundang Anies Baswedan (AB) sebagai pembicara tunggalnya!

Apa hubungan AB dengan Paskah dan Pentakosta sehingga PGPI memberikan panggung nasional kepada AB sebagai pembicara tunggal untuk mengajarkan tentang keberagaman kepada lebih dari 80 lebih sinode gereja di Indonesia yang menjadi anggota PGPI?

Apakah di Indonesia ini sudah tidak ada lagi rekan seiman yang memiliki kompetensi untuk berbicara tentang keragaman?

Bukankah kita memiliki tokoh nasional sekelas Romo Franz Magnis Suseno  yang kiprahnya memperjuangkan keberagaman sudah terukir di mana-mana?

Jika PGPI ingin memperingati acara Paskah, maka undanglah hamba-hamba Tuhan yang mengerti isi hati TUHAN dan menghidupinya, jangan malah mengundang Pilatus, Herodes, atau Ken Arok! 

Keluar dari rekam jejak dan kompetensi.

Baiklah, katakanlah PGPI melihat kualifikasi Romo Franz Magnis belum cukup untuk berbicara masalah keberagaman di Indonesia sehingga perlu mendatangkan tokoh keberagaman yang bukan Nasrani, bukankah akan lebih pas dan berkelas jika PGPI mengundang Menteri Agama Gus Yaqut?

Beliau adalah seorang tokoh penjaga keberagaman yang konsisten menjalaninya hingga saat ini. Selain beliau, Indonesia juga memiliki pembela-pembela keberagaman seperti Bung Ade Armando atau Bu Yenny Wahid. Rekam jejak dan konsistensi mereka menjadi pejuang kebhinekaan di NKRI sudah tidak perlu diragukan lagi. 

 

Tapi mengapa justru AB yang diundang sebagai pembicaranya?

Apa rekam jejak AB untuk keberagaman di DKI? Kita semua tahu bagaimana AB dan tim suksesnya menjadikan pilkada DKI 2017 sebagai pilkada yang paling brutal di mana ayat dan mayat dijadikan sarana untuk meraih kemenangan. Anak-anak kecil pun diajari menyanyikan lagu-lagu ujaran kebencian/pembunuhan!

 

Warga DKI dibelah berdasarkan agama dan sukunya! Bahkan umat yang seiman pun juga dibelah sedemikian initimidatifnya. Mengundang AB untuk berbicara tentang keberagaman itu ibarat mengundang pedofil untuk berbicara tentang pentingnya sentuhan terhadap pertumbuhan psikologi anak-anak balita!


Jika AB diundang untuk memberikan kata sambutan itu wajar dan sepatutnya. Atau undanglah AB terkait dengan keberhasilannya membuat hampir semua pihak di DKI menerima program-programnya: naturalisasi sungai untuk menanggulangi banjir Jakarta, implementasi 0 untuk program rumah DP 0 rupiah, warung OK-OC, ngecat genteng warna-warni, bikin jalur sepeda, bikin monumen sepeda, bambu getah-getih, tugu batu, tugu-tugu peti mati, bongkar pasang trotoar, damkar yang kelebihan anggaran, tuan rumah formula E, menghilangkan ratusan pohon di Monas, dan prestasi-prestasi lainnya yang membanggakan para pendukungnya.

AB juga sangat cocok berbicara tentang bagaimana membuat anggaran dan mendapat dukungan dari semua majelis dan pengurus/jemaat yang vokal.

Demikian juga AB akan sangat piawai dengan tema menata kata yang akan sangat dibutuhkan oleh pendeta-pendeta yang kotbahnya keras dan bikin kuping jemaat/majelis panas. 

 

Ada apa dengan JB-AB?


Salah satu spekulasi yang beredar di medsos adalah karena besaran bantuan BOTI (Bantuan Operasional Tempat Ibadah) yang diterima oleh PGPI DKI dan kemudahan-kemudahan izin yang diperoleh gereja-gereja di DKI.

Apa yang dilakukan AB melalui BOTI untuk semua rumah ibadah di DKI adalah hal baik dan patut diapresiasi.

 

Gereja-gereja kecil di Jakarta sungguh mendapatkan manfaatnya.

Namun itu bukan berarti PGPI harus membalas apa yang memang menjadi tugasnya tersebut dengan memberikan panggung nasional sebagai pembicara sekaligus menjadikannya sebagai figur model tentang keberagaman untuk acara Paskah/Pentakosta.

Hal ini terlihat terlalu vulgar dipaksakan dan tidak wajar. Pintar sekali sekali AB: cukup sisihkan sedikit anggaran DKI untuk sebagian BOTI, tapi dia mendapat panggung nasional yang menjadi representasi 80 lebih sinode dengan ribuan gereja di semua provinsi!

Ada apa dengan Pdt. Jason Balompapueng dan kawan-kawannya di PGPI DKI? Apakah PGPI tidak sadar bagaimana selama ini AB sangat royal dalam menghambur-hamburkan anggaran untuk memelihara, memperalat, dan menjinakkan ormas-ormas adat dan keagamaan, DPRD-DKI, dan para birokrat di DKI sehingga mereka semua adem ayem duduk manis di bawah teduh dan rindangnya pohon anggaran AB?

Sungguh memprihatinkan sekali jika BPH PGPI menjadi sedemikian pragmatis sehingga menempatkan PGPI sebagai figur Esau modern yang memandang rendah hak kesulungan sehingga dengan mudah menggadaikannya demi sepiring kacang merah (kebutuhan yang bersifat instan).

Atau jangan-jangan PGPI mau (atau sudah?) dijadikan 212 versi Kristen di 2024? Hanya TUHAN, BPH PGPI dan Setan yang tahu. 

 

Akhir kata, saya harus mengakui kehebatan AB dalam berpolitik dan menghamburkan APBD DKI sehingga melalui JB maka AB akan mendapatkan panggung pengakuan nasional dalam acara Paskah PGPI.

Di sisa masa masa jabatannya yang akan berakhir tahun depan, berkat dukungan JB (selaku Ketua Umum PGPI) dan rekan-rekan pengurus PGPI DKI, Senin 26 April 2021 nanti AB akan menjadi  pembicara nasional untuk masalah keberagaman.

Pengakuan ini tentu sangat dibutuhkan AB sebagai modal sosialnya nyapres di 2024. AB memang harus giat membersihkan sisa-sisa muntahan rasisnya di Pilkada DKI, dan sekarang ada PGPI yang dengan penuh syukur memberikan dirinya sebagai kain pel untuk membersihkannya.

Meski tampaknya mustahil, selalu ada harapan dan mujizat. Kiranya di sisa waktu yang ada BPH PGPI berkenan mengganti pembicara atau membatalkan acara tersebut. Tetaplah setia memberitakan suara kenabian untuk mendeklarasikan kerajaan Allah dan kehendak-Nya. Semoga. 


**)Welly Chan
Menggembalakan jemaat di Yogyakarta

Disclaimer: opini pribadi ini TIDAK TERKAIT dengan pandangan/sikap gereja dan sinode tempat saya melayani.

KOMENTAR