Aktivis Gereja Di Papua Didirikan Sekolah Darurat Untuk Anak-anak Pengungsi Nduga

Binsar

Tuesday, 19-02-2019 | 09:05 am

MDN
Aktivis Gereja Di Papua Didirikan Sekolah Darurat Untuk Anak-anak Pengungsi Nduga [ist]

Wamena, Inako –

Sejumlah aktivis gereja di Papua mendirikan sekolah darurat untuk menampung ratusan yang mengungsi pasca meletusnya konflik antara aparat keamanan dan kelompok separatis pada bulan Desember di Kabupaten Nduga, Papua.

Sejauh ini, mereka telah mendirikan 15 tenda darurat di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya. Aktivitas belajar mengajar dimulai pekan lalu di tenda-tenda yang telah didirikan.

Seperti telah diketahui, lebih dari dua bulan pasca konflik di Nduga, ribuan orang, termasuk anak-anak mengungsi ke hutan dan sebagiannya  ke daerah lain di sekitar Nduga.

Konflik terjadi setelah kelompok separatis membunuh 20 orang pekerja proyek jalan di Kabupaten Nduga pada 2 Desember.

Pastor John Djonga, direktur Yayasan Teratai Hati Papua yang menginisiasi program ini mengatakan, 406 anak telah terdaftar dari tingkat SD sampai SMA.

“Kemungkinan bisa bertambah lagi, karena pendataan masih terus berlangsung,” katanya.

Imam itu mengatakan sekolah menjadi mendesak karena anak-anak harus mengikuti ujian nasional pada bulan April.

Langkah ini mendapat dukungan dari pemerintah Kabupaten Nduga, terutama untuk penyediaan guru dan prasarana kegiatan belajar, seperti papan tulis serta balpoin dan buku tulis.

Janes Sampouw, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nduga mengatakan, mereka juga bertanggung jawab terhadap kegiatan ujian nasional mendatang, yang bisa saja digelar di luar Nduga.

Patrina Mabul, yang membawa sejumlah anak ke sekolah darurat itu mengatakan para orangtua khawatir dengan pendidikan anak-anak mereka.

“Mereka meminta saya untuk membawa anak-anak ini ke Wamena supaya bisa sekolah,” katanya.

Diperkirakan 22.000 orang meninggalkan rumah di 12 kecamatan di Nduga. Banyak yang masih di hutan, beberapa tinggal bersama kerabat mereka di Wamena, Asmat, Lani Jaya, dan Timika.

Mereka tidak dapat kembali ke rumah mereka karena situasi yang belum kondusif.

Frantinus Nirigi, seorang relawankemanusiaan, mengatakan belum ada upaya serius untuk membantu masyarakat, termasuk di bidang medis.

“Banyak pengungsi yang sedang sakit namun kebingungan harus berobat ke mana,” katanya.

Ada 14 wanita hamil di antara mereka yang mengungsi, di mana salah satunya meninggal saat melahirkan karena tidak ada yang membantunya, demikian laporan sejumlah organsisasi hak asasi manusia.

Tiga bayi juga dilaporkan meninggal karena kelaparan.

John Djonga mengatakan para pengungsi berjuang untuk bertahan hidup di hutan dan bergantung pada kerabat mereka serta sumbangan dari berbagai pihak, termasuk gereja.

“Harusnya pemerintah tidak boleh diam dan membiarkan masyarakat menderita,” katanya.

KOMENTAR