Ancaman Yuridis Untuk PNS dan Kades

Hila Bame

Tuesday, 16-06-2020 | 15:11 pm

MDN

 

Oleh.  : Adlan Daie

Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat

 

Jakarta, Inako

 

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP)  no 17 tahun 2020, tanggal 28 Pebruari 2020 tentang perubahan atas PP  no 11 tahun 2017 tentang management Pegawai Negeri Sipil (PNS) terdapat klausul ketentuan baru yang mengunci Pejabat Pembina Kepegawaian(PPK), yakni salah satunya kepala.daerah untuk tidak sewenang wenang mempromosikan, mendegradasi dan memutasi PNS dari jabatannya misalnya hanya karena bonus atau sanksi terkait  kinerja tim sukses di pilkada diluar kerangka sistem meritokrasi (kualifikasi kompetensi dan kinerja).

Ketentuan pasal 3 dalam PP no 17 tahun 2020 di atas  menambahkan satu ketentuan baru, ayat tujuh(7) bahwa "pelimpahan kewenangan Presiden  kepada kepala daerah untuk mengangkat, memindahkan dan memberhentikan PNS dari jabarannnya" DAPAT DICABUT KEMBALI oleh Presiden jika terdapat pelanggaran merit sistem oleh kepala Daerah sebagai  PPK atau karena pertimbangan effektifitas pemerintahan. Di sinilah PNS (kepala dinas, camat, lurah dan lain lain)  "nasib"nya tidak lagi sepenuhnya di bawah '"ancaman yuridis" kepalan tangan kepala daerah(Gubernur, Bupati dan Walikota).


Karena itu PNS tidak perlu bersusah payah menjadi second line  tim sukses pilkada di luar tupoksinya sebagai aparatur sipil.negara hanya untuk mendapatkan promosi.jabatan diluar merit sistem. Justru Presiden dapat mengambil alih langsung kewenangan kepala.daerah untuk memberhentikan atau memindahkan PNS (ke pulau terluar misalnya) jika terbukti lalai pada tugas pokoknya atas laporan masyarakat atau Presiden memandang penting untuk dipindah ke pulau terluar atas nama kebutuhan efektifitas pemerintahan.


Prihal kepala desa adalah "elected leader", pemimpin pemerintahan desa hasil seleksi pemilihan bukan pejabat yang ditunjuk. Seorang pemimpin pemerintahan desa yang bersifat otonom di unit terbawah susunan pemerintahan dan berfungsi sebagai kepanjangan tangan pemerintahan di atasnya dalam hal penyelenggaraan pemerintahan bukan kepanjangan tangan kepentingan politik pejabat politik di atasnya meskipun tidak jarang instrument perangkat daerah misalnya inspektorat badan pengawasan daerah dan badan terkait lainnya memainkan irama kepentingan majikan politiknya ke ranah pemerintahan.desa.


Dengan kata lain, posisi kades bukan di bawah payung instruksional kepala daerah yang dapat diatur atur seenaknya oleh kepanjangan tangan kepala daerah, yakni seorang camat,  PNS yang ditunjuk dan tak jarang dengan tampilan ibarat penguasa terhadap para kades di wilayah teritorial tugasnya yang di musim pilkada sering sekali menjadi second tim sukses yang mengatur atur para kader lebih power full politis dibanding tim sukses dari unsur parpol. Inilah yang harus dijaga bersama agar praktek birokrasi tetap pada khittahnya di level keadaban pelayan pubik bukan pelayan politik yang bersifat permisif dan primitif.


Ketentuan PP baru tentang management PNS di atas dan masih berlakunya keputusan mendes PDTT no 50 tahun 2017 tentang pembentukan satuan tugas ( satgas) dana desa yang dipimpin oleh mantan komisioner KPK, Bibit Samad Riyanto dengan fungsi pengawasan terhadap  dana desa haruslah disadari baik oleh PNS maupun kepala desa bahwa mereka sewaktu waktu dapat dipindahtugaskan ke pulau terluar (bagi PNS) atau diberhentikan karena dijerat delik pidana baik pidana umum maupun tindak pidana korupsi (tipikor) jika ditemukan bukti pelanggaran atas laporan masyarakat atau temuan satgas desa yang diteruskan ke penegak hukum yang tidak bisa dimintai bantuan proteksinya ke majikan politiknya seperti kepala daerah.


Maka, Hadirnya PP baru dan satgas dana desa di atas haruslah kita maknai bersama sebagai perangkat yuridis untuk  mengawasi day to day dalam kerangka turut serta mendisiplinkan PNS dan para kades dalam melaksanakan tugas tugas bkrokrasi.dan efektitas jalannya pemerintahan desa agar mereka bekerja tegak lurus pada pelayanan publik dan imun terhadap tarikan kepentingan politik majikan politik di atasnya.


Pengawasan tersebut harus kita lakukan bersama dan aktif melaporkannya ke penegak hukum atau satgas dana desa bukan saja agar mereka terhindar dan tidak menjadi korban kepentingan politik sesaat  yang merusak martabatnya hanya untuk melayani kepentingan majikan politiknya juga berdasarkan kajian Bank dunia (World Bank) dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) karena aspek kultural "inlander", yakni mental birokratis yang elitis priyayi menjadi salah satu faktor penghambat utama Indonesia untuk bertransformasi menjadi negara maju, modern, demokratis, partisipatif dan berkeadilan sosial.

Semoga bermanfaat

TAG#ADLAN DAIE

198733996

KOMENTAR