Anita Wahid: Peringati 100 Hari Bom Gereja Surabaya, Bangkit Rayakan Persaudaraan Sejati

Jakarta, Inako
Kebencian hampir takkan membuat sebuah negara makin maju.
Kebencian yang ditanamkan sejak sekolah taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi sebaliknya yang akan terjadi. Contoh nyata dari ajaran kebencian adalah tragedi bom Gereja Surabaya (3/5/2018).
Potensi anak muda Indonesia seharusnya diarahkan ke arah yang positif semacam perlombaan kompetensi untuk menghasilkan manusia yang memiliki daya saing pada level global, salah satu sari pikiran Rizal Ramli ketika tampil sebagai pembicara di International Interdisciplinary Conference on Sustainable Development Goals (IICDDGs) 2018 yang digelar Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen dan Bisnis (STIMB) di Grand Palace Convention Center, Gorontalo, Sabtu (25/8/2018).
"Faktor sumber daya manusia Indonesia, tegas RR, memiliki kualitas pemuda yang gesit-gesit. Namun kreativitasnya dipakai ke arah negatif. Ini harus diubah ke kreativitas yang positif dengan cara menggelar banyak kompetisi".
Dalam rangka memperingati 100 Hari Tragedi Bom Surabaya, Gerakan Gusdurian (Gerdu) Suroboyo bersama Aliansi Lintas Iman Surabaya menggelar Solidaritas Melodi Tanpa Batas, Jumat (24/8) malam. Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia dan GPPS Jemaat Sawahan menjadi korban serangan teror bom Mei lalu.
Peringatan 100 hari tragedi bom di tiga gereja di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel, Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan di Jalan Arjuno, Jumat (25/8), diisi dengan berbagai tampilan seni dan budaya, serta refleksi iman dan kebangsaan, dalam tajuk "Solidaritas Melodi Tanpa Batas."
Ketua Panitia, Cahaya Purnama Putra mengatakan, melalui tampilan seni dan budaya ini ingin menunjukkan bahwa persaudaraan dan kesatuan bangsa dapat disatukan oleh kebudayaan.
“Banyak yang kami tampilkan, ya paduan suara, kebudayaan tari-tarian, tari Bali tadi sudah tampil juga, terus ada tari kontemporer dari gereja yang lain juga. Ya banyak elemen yang bersedia bergabung di acara malam ini, ya itu yang kami tampilkan, karena sesuai dengan tajuk acara kami ‘Melodi Solidaritas Tanpa Batas’.
Jadi kami ingin menyampaikan bahwa kebudayaan itu suatu kunci, dimana kita bisa menyatukan kembali ego-ego kita yang sudah terpecah akibat masifnya informasi-informasi radikalisme seperti sekarang ini,” jelasnya.
Sementara Anita Wahid, dari Seknas Jaringan Gusdurian mengatakan, meski berawal dari sebuah tragedi kemanusiaan, peristiwa teror bom harus menjadi titik tolak untuk bangkit dan memperkuat persaudaraan sejati antar anak bangsa, Inakoran.com mengutip dari Voice Of Amerika (VOA) Minggu, (26/8/2018)
“Pertemuan hari ini memang berangkatnya dari sebuah tragedi yang memang sudah menyayat kita sebagai satu bangsa, tetapi walaupun itu adalah tragedi bukan berarti kita tidak bisa mempergunakannya untuk bangkit.
Dan hari ini kita memutuskan untuk bangkit dan menjadikannya sebagai hari Persaudaraan Sejati, artinya itu mengingatkan kita lagi bahwa sebenarnya peristiwa yang kemarin terjadi itu adalah karena kita kehilangan makna diri kita sebagai saudara, kita lupa bahwa mereka yang berbeda itu juga sama loh sama kita, sama-sama satu saudara,” kata Anita Wahid.
Pastor Kepala Paroki Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Ngagel, Surabaya, Romo Alexius Kurdo Irianto mengatakan, melalui tragedi bom gereja di Surabaya, umat Katolik serta umat beragama lainnya diajak untuk berani keluar dari diri sendiri, sehingga mampu merangkul manusia lain sebagai saudara yang terlukai oleh perilaku kekerasan.
“Yang ditekankan ya berani keluar dari diri sendiri untuk menjumpai saudara-saudara yang lain dengan persaudaraan sejati itu, dengan tiga nilai itu, equality, solidarity dan unity.
Bahwa kita semua adalah citra Allah, karena ini adalah peristiwa kemanusiaan yang dilukai, bukan agama, karena dengan kekerasan kan kemanusiaan yang dilukai, maka ini bukan persoalan agama, ini persoalan kekerasan, dan kekerasan adalah dehumanisasi,” kata Romo Alexius Kurdo Irianto.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Surabaya, I Wayan Suraba mengatakan, perjumpaan dengan berbagai masyarakat dari berbagai etnis dan agama adalah hal baik yang harus terus dipelihara, untuk mempererat silaturahmi dan persaudaraan antar anak bangsa.
“Mengumpul begini kan sebuah pemikiran, sebuah karya yang sangat positif. Karya yang positif kita bisa bersilaturahmi dengan sesama, dari etnis dan agama dan lain sebagainya, ini sebuah aura positif hasil dari pada sebuah evaluasi.
Ketika kita berkumpul ini, secara otomatis kan, tali persaudaraan, tapi ikatan antar etnis dan beragama itu tambah erat, saling menghargai, sehingga tragedi itu atas doa kita, atas karya kita, semoga tidak akan terjadi lagi,” akunya.
KOMENTAR