Apa Makna Hari Santri Nasional

Hila Bame

Tuesday, 10-10-2023 | 10:17 am

MDN
H. Adlan Daie

 

Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN


Peringatan Hari Santri Naaional (HSN) tidak perlu dimaknai secara "lebay" dalam benruk "penegasan identitas kelompok" Islam tertentu secara berlebihan dan "superior" seraya menuding kelompok Islam lain yang bukan golongannya dengan tudingan "radikal radikul".

Penegasan "superioritas" kelompok Islam tertentu, merasa paling "Islam" atau sebaliknya merasa paling "Pancasila" dan paling "NKRI" secara sepihak justru potensial merusak "tenun" kebangsaan yang beragam dalam spirit integrasi mengokohkan "Persatuan Indonesia".

Itulah pesan "terdalam" dari Resolusi jihad (1945), "hubbul wathon minal iman", cinta tanah air bagian dari keimanan, yang digelorakan KH. Hasyim Asy ari, Rois Akbar NU dan menjadi inspirasi historis dari penetapan Hari Santri Nasional (HSN).

Dalam perspektif itulah penulis bersetuju dengan definisi baru Gus Mus (KH Mustofa Bisri), Mustasyar PBNU, tentang santri bahwa dalam konteks pengakuan negara tentang penetapan Hari Santri di atas santri menurutnya adalah "orang Islam Indonesia yang cinta tanah air, cinta NKRI".

Artinya, keislaman dan kebangsaan  "melebur" dalam satu tarikan nafas santri dalam "keindonesiaan" mengakhiri sekat sekat ideologisasi politis secara tajam dan ekstrim kecuali sekedar alat analisis bacaan atas varian varian demografi pemilih di Indonesia.

Dalam sejarah literasi sosial politik di Indonesia "santri" memiliki varian makna dan definisi yang beragam. Secara lahiriyah "santri" identik dengan cara berpakaian sarung dan kopiah hitam. Orang luar menyeburnya "khas NU banget". 

Definisi ini merujuk pada tradisi "santri" sebagai salah satu elemen penting pesantren NU sebagaimana ditulis dalam disertasi Dr. Zamakhsyari Dhofir yang diterbitkan dalam buku berjudul "Tradisi Pesantren" (1982).

Clifford Gezt dalam penelitiannya tahun 1956 di Jawa Timur yang diterbitkan dalam buku "The Religion Off Java" dan dialihbahasakan oleh Aswab Mahasin dalam judul buku "Santri, Priyayi dan Abangan" mengkonstruksi makna santri dalam perspektif varian afiliasi.politik. 

Di sini Cliiford Gezt memaknai "santri" adalah varian pemilih partai partai Islam "dikontraskan" dengan varian sosial "abangan" dan "priyayi", yakni loyalis pemilih partai partai Nasionalis.

Prof Dr. Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya berjudul "Runtuhnya Politik Santri (1991) membedah definisi "santri" dalam dua kategori yakni pertama "santri" tradisional mengacu pada produks sosial jaringan pesantren NU dan kedua "santri" dalam pengertian aktivis pergerakan Islam modern non pesantren. 

Dari sini dapat dibaca kelompok sosial "santri" sebagai pemilih partai NU (kini PKB) dan pemilih partai Masyumi, PSII Perti dll (kini bertansformasi ke PKS, PAN dan PPP).

Pengelompokan sosial varian santri di atas  bahkan mengkontraskan secara diametral "santri" versus "nasionalis" (sekali lagi kecuali sekedar bacaan varian demografi pemilih) tidak relevan lagi dalam konstruksi definisi santri dalam perspektif Gus mus di atas.

Artinya santri adalah "orang islam indonesia yang cinta tanah air, cinta NKRI". Daya ikatnya adalah "keislaman" dan "cinta tanah air" yang melebur dalam "keindonesiaan" yang beragam etnis, suku, ras dan agama.

Ke sanalah peringatan Hari Santri.Nasional (HSN) dimaknai secara substansial dan inilah sejatinya "amal.jariyah" NU untuk bangsa Indonesia.


Selamat hari santri nasional 2023. 

 

 

TAG#ADLAN, #HSN, #ISLAM

190215091

KOMENTAR