Asosiasi HIMSATAKI Kecewa Dengan Kebijakan Kemenaker yang Diskriminatif dan Pro Terhadap Pengusaha Besar

Jakarta, Inako
Asosiasi masyarakat pengusaha penempatan TKI di Luar Negari dengan nama HIMSATAKI (Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan TKI), mengakui kecewa dengan kebijakan pemerintah khususnya Kementerian Tenaga Kerja RI melalui Peraturan Pemerintah (PP). PP tersebut dirasakan diskriminatif, monopoli, memihak atau pro terhadap salah satu kelompok pengusaha yang bermodal besar, sehingga “mematikan” kelompok pengusaha yang lain yang bermodal kecil.
Simak video InaTv dan jangan lupa klik "subscribe and like" menuju Indonesia maju.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Ketua Asosiasi HIMSATAKI, Yunus Yamani, dalam surat yang ditujukan kepada Menteri Ketenakerjaan RI Ida Fauziah, tertanggal 16 Desember 2019.
Dalam surat yang diterima Inakoran.com, Yunus menjelaskan latar belakang penempatan TKI di luar negeri. Yunus mengatakan bahwa sebagai Asosiasi PPTKIS yang telah berusaha untuk melakukan penempatan TKI sejak tahun 1979 hingga saat ini, pihaknya masih tercatat sebagai pemegang SIUP Perdagangan dan SIUP Naker yang resmi dan ditandatangani oleh Menteri Tenaga Kerja dan/atau pejabat yang ditunjuk.
Yunus menuturkan bahwa penempatan tenaga kerja berjalan dengan baik walau masih terjadi permasalahan disana sini, namun ada sebuah kejadian yaitu perkara hukum pancung yang dijatuhkan kepada WNI/TKI karena telah membunuh salah satu keluarga di Saudi Arabia. Menurut Yunus, kejadian tersebut membuat banyak orang di Indonesia ribut, seolah-olah TKI yang terkena hukum pancung tersebut tidak bersalah. Karena kejadian tersebut, maka kemudian Pemerintah Indonesia mengambil sikap yaitu dengan memberhentikan sementara (moratorium) TKI ke Saudi Arabia pada tahun 2011. Selanjutnya, pada tahun 2015 Menteri Tenaga Kerja membuat keputusan untuk memberhentikan penempatan TKI ke-22 Negara di Timur Tengah sampai saat ini. Tetapi kemudian pada tahun 2018, Menteri Tenaga Kerja membuat Surat Keputusan tentang Pedoman Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia ke Saudi Arabia melalui sistem satu kanal.
“Dalam SK Menaker tersebut terdapat satu pasal yang menurut kami sangat aneh, dimana tertulis dengan jelas bahwa PPTKIS yang akan menempatkan TKI ke Saudi Arabia harus memenuhi syarat yang salah satunya adalah harus menjadi salah satu anggota Asosiasi yang ditunjuk oleh KADIN (Kamar Dagang dan Industri). Mengapa aneh, karena selama anggota kami menempatkan TKI ke luar negeri KADIN tidak pernah terlibat apapun, namun dengan dikeluarkannya SK Menaker No. 291 Tahun 2018, KADIN telah berdiri diatas Menaker atau lebih berkuasa. Karena apa? Karena semua Asosiasi PJTKI/PPTKIS/P3MI mempunyai SIPPTK yang boleh menempatkan TKI ke seluruh dunia, tetapi dengan dilibatkannya KADIN, hidupnya PJTKI/PPTKIS ditentukan oleh KADIN. Bila Asosiasi tidak mendapat penunjukkan dari KADIN, maka PPTKIS anggota Asosiasi tidak bisa menempatkan TKI ke Saudi Arabia, padahal selama ini KADIN tidak berperan apapun dalam penempatan TKI ke Luar Negeri. Lalu untuk apa ada SIPPTK?,” keluh Yunus dalam surat tertulisnya.
Menurut Yunus, dengan sikap KADIN yang tidak mengeluarkan Surat Penunjukkan terhadap Asosiasi-asosiasi, hanya 1 saja asosiasi yang ditunjuk, jelas telah membuktikan dugaan diskrimasi dan monopoli, sehingga dengan demikian anggota yang tergabung dalam Asosiasinya tidak bisa ikut seleksi dan PJTKI/PPTKIS yang lolos menjadi P3MI hanya 58 perusahaan yang merupakan anggota 1 asosiasi.
Lebih lanjut Yunus menjelaskan, bahwa sebelum mereka terbentuk sebagai Asosiasi, mereka telah mengirimkan Surat Permohonan Penunjukkan pada KADIN tanggal 14 Februari 2019, namun permohonan mereka dibalas dengan Surat KADIN tertanggal 19 Maret 2019 dimana dalam surat tersebut mensyaratkan mereka harus memenuhi beberapa persyaratan yang menjadi kewenangan Kementerian Tenaga Kerja, antara lain bukti pengalaman telah melaksanakan penempatan pekerja migran Indonesia setidaknya 5 (lima) tahun terakhir.
Menurut Yunus, surat KADIN tersebut menunjukkan ketidaktahuan KADIN mengenai penempatan tenaga kerja, karena penempatan dilakukan oleh PPTKIS bukan oleh Asosiasi. Kemudian syarat ini pun mustahil dipenuhi oleh PPTKIS anggota mereka ataupun asosiasi lainnya karena sudah jelas penempatan pekerja migran Indonesia ke Saudi Arabia telah dimoratorium sejak tahun 2011, dan kalaupun bisa dipenuhi seharusnya mereka mengajukannya ke Kementerian Tenaga Kerja, bukan ke KADIN.
Dalam surat yang ditujukan kepada Menaker Ida tersebut, Yunus juga menjelaskan bahwa pada tanggal 15 April 2019 mereka telah mengirimkan surat kepada Dirjen Binapenta dan PKK untuk mempertanyakan syarat dan ketentuan untuk dapat ditunjuk sebagai P3MI seperti 58 PJTKI/PPTKIS anggota Asosiasi lain yang telah ditunjuk, dan surat mereka tersebut direspon melalui Dirjen Binapenta dan PKK pada tanggal 9 Mei 2019 dimana isinya menjelaskan kembali persyaratan yang diatur oleh Kepmenaker No. 291 Tahun 2018 pada BAB III huruf A, diantaranya yaitu:
1. Pada angka “8”; Memiliki Kantor dan sarana prasarana perkantoran sesuai dengan alamat yang tercantum dalam SIPPTKI.
80% dari 58 P3MI yang telah ditunjuk oleh Dirjen Binapenta dan PKK bahkan tidak memiliki plang/papan nama kantor yang merupakan sarana prasarana perkantoran, dan banyak dari 58 P3MI tersebut sudah tidak memiliki kantor namun lulus seleksi.
2. Pada angka “10”; Memiliki Laporan Keuangan Perusahaan Tahun 2017 yang telah diaudit oleh Akuntan Publik.
Bahwa Penempatan TKI ke Saudi Arabia dan Timur Tengah telah dimoratorium oleh Pemerintah sehingga secara logika perusahaan-perusahaan tidak beroperasi, Laporan Keuangan yang diaudit oleh Akuntan Publik diduga isinya tidak hanya mengenai asset perusahaan saja melainkan ada aktivitas operasional perusahaan yang menurut mereka tidak logis (karena sudah dimoratorium sejak 2011). Karena itu, mereka mempertanyakan data-data tersebut pada Tim Seleksi.
3. Pada angka “11”; Memiliki surat/bukti keanggotaan dalam Asosiasi yang ditunjuk sebagai Wakil KADIN dalam lingkup penempatan dan perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
"Syarat ini menunjukkan bahwa KADIN hanya perlu mengeluarkan Surat Penunjukkan tanpa meminta syarat-syarat lain yang merupakan kewenangan dari Kementerian Tenaga Kerja, dan kami Asosiasi maupun anggota kami para PJTKI/PPTKIS selalu membayar iuran dan iuran tersebut diterima oleh KADIN, tidak seharusnya KADIN menambah birokrasi yang bukan merupakan kewenangannya. Karena sejak Penempatan TKI ke Saudi Arabia /Timur Tengah dimoratorium oleh Pemerintah, KADIN tidak melakukan apapun untuk kami selaku anggotanya. Kami hanyalah pelaku usaha yang ingin mencari nafkah, kalau 58 P3MI diberikan kesempatan, kami pun menginginkan hal yang sama,” tutus Yunus dalam bagian surat tersebut," tegasnya.
Yunus mengatakan, melalui surat tersebut, mereka memohon Menteri Tenega Kerja RI, agar mereka diberikan waktu dan kesempatan bertemu dengan Menteri Ida Fauziah, untuk menyampaikan segala informasi dan seluk beluk penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri. “Menurut kami penting untuk ibu ketahui dari kami sebagai pelaku usaha yang benar-benar mengalaminya sendiri,” tuturnya.
Contoh Pertama
Yunus berencana dalam pertemuan itu nanti akan menjelaskan contoh perlindungan terhadap TKI di luar negeri yang tidak tepat sasaran. Contoh pertama, khususnya mengenai perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, selama ini yang kami rasakan sebagai pelaku usaha, bahwa perlindungan yang kebijakannya diatur oleh pemerintah sudah bagus namun tidak tepat sasaran.
Yunus memberikan contoh terkait perlindungan terhadap TKI di luar negeri yang berada di bawah 5 lembaga, yaitu:
1. Oleh Kementerian Luar Negeri melalui KBRI/KJRI setempat;
2. Oleh Atase Ketenagakerjaan sebagai kepanjangan tangan dari Kementerian Tenaga Kerja yang ditempatkan di KBRI/KJRI setempat;
3. Oleh BNP2TKI sebagai badan yang ditunjuk sebagai operator pelayanan penempatan TKI di luar negeri;
4. Oleh Asuransi/BPJS Ketenagakerjaan yang sifatnya penggantian/ganti kerugian;
5. Oleh PPTKIS dan/atau Asosiasi PPTKIS.
“Dengan begitu banyaknya perlindungan tetap saja tidak menjadi solusi bagi TKI yang mengalami masalah di negara penempatan, tetap saja ada ribuan TKI bermasalah dan ujung-ujungnya yang paling disalahkan dan yang harus bertanggung jawab adalah PPTKIS, karena tidak pernah ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab apa,” tambahnya.
Dalam surat tersebut, Yunus juga memberikan sejumlah contoh perlindungan TKI di Timur Tengah yang tidak tepat sasaran, antara lain:
1. TKI tidak dibayar gajinya selama 5 tahun, TKI lantas kabur ke KJRI/KBRI, bukan majikannya yang dikejar/dituntut tetapi malah PPTKIS-nya yang diwajibkan bertanggung jawab menyelesaikannya dan jika tidak segera diselesaikan maka pelayanan terhadap PPTKIS tersebut dihentikan.
2. TKI sakit, biaya rumah sakitnya ditanggung sendiri, padahal menurut undang-undang TKI tersebut dilindungi melalui asuransi/BPJS Ketenagakerjaan, namun asuransi/BPJS tidak mempunyai perwakilan di Luar Negeri, bagaimana jika uang yang dimiliki TKI tidak mencukupi untuk biaya pengobatan?
3. TKI membunuh atau dibunuh, tidak bisa dibela secara maksimal karena tidak ada biaya untuk membayar pengacara, sehingga yang mendampingi TKI hanya staf lokal yang hanya bermodalkan bahasa Arab. Dan masih banyak lagi.
Contoh Kedua
Selain itu, dalam pertemuan tersebut nanti, Yunus akan berceritra tentang modal perusahaan TKI. Ia mengatakan bahwa modal perusahaan yang harus ditempatkan sebesar 5 miliar rupiah dan deposito sebesar 1,5 milia rupiah yang diatur dalam UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
“Ketentuan tersebut tentu memberatkan karena sudah 8 tahun ditutup dan mengalami kerugian, dan tidak adanya jaminan penempatan ke Timur Tengah/Saudi Arabia akan dibuka kembali jika syarat tersebut dipenuhi,” tegasnya.
Menurut Yunus, Kemnaker, BNP2TKI, dan Imigrasi sebetulnya telah membentuk TIM untuk menyeleksi PPTKIS (P3MI) yang memenuhi syarat untuk menempatkan TKI ke Saudi Arabia sesuai statement Direktur PPTKLN, bahwa hasil dari TIM Seleksi tersebut sangat meyakinkan dan bisa dipertanggungjawabkan sehingga terpilihlah 58 P3MI.
Namun belakangan, kata Yunus, ada beberapa dari 58 perusahaan yang terpilih tersebut ditangkap oleh pihak yang berwajib dan SIUP-Nakernya sudah dicabut, sehingga patut dipertanyakan kredibilitas TIM seleksi yang dibentuk tersebut.
“Kami dari HIMSATAKI mohon dengan hormat agar persyaratan-persyaratan tersebut dapat dipertimbangkan kembali dengan harapan dapat diperingan untuk menempatkan pekerja migran ke Saudi Arabia terlebih dahulu sampai P3MI mempunyai persiapan untuk memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Kemnaker, baik itu Undang-undang, Keppres, maupun Keputusan Menteri,” kata Yunus di bagian akhir suratnya.
Yunus berharap agar melalui surat tersebut, keluhan dan saran mereka didengar secara langsung oleh Menteri Tenaga Kerja RI, dan diberikan kesempatan kepada mereka untuk bertemu.
TAG#Kementerian Ketenagakerjaan, #TKI, #KADIN, #HIMSATAKI, #Yunus Yamani, #Ida Fauziah
198732830
KOMENTAR