Bisa kah PBNU Sumbang Suara ke Capres 02 Atau Ambyaaar ?

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik elektoral dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Sangat sulit PBNU bisa menyumbang suara ke Paslon Prabowo Gibran meskipun PBNU sebagaimana laporan koran "Tempo" terbaru dengan judul besar melakukan "Konsolidasi PBNU Menangkan Prabowo".
Hasil survey LSI Deni JA (September 2023) yang menyebutkan bahwa "pemilih NU" sebesar 52% (110 juta dari daftar pemilih tetap 2024) - meskipun tidak jelas apa definisi yang disebut "pemilih NU" - sangat keliru jika "pemilih NU" tersebut seolah olah bisa diatur atur pilihan politik mereka oleh struktural PBNU.
BACA:
Gelar 'P3sta Demokrasi Pesta Rakyat', Diaspora Indonesia di Eropa Antusias Dukung Ganjar-Mahfud
Penjelasan secara antropologi politik merujuk pada temuan penelitian Clifford Gerzt tentang varian pemilih dalam pemilu 1955 - relevan hingga saat ini, dapat diuraikan secara simpel sebagai berikut :
Pertama pemilih NU non santri, yakni pengamal tradisi sosial ke NU an seperti tahlil, ziarah kubur dan khitanan tapi "kurang taat" menjalankan syariat agama - dalam penelitian Clifford Gerzt, antara lain sering meninggalkan "shalat Jum'at", disebut pemilih "abangan".
Kategori pemilih ini sebesar 57% pada pemilu 1955, lebih mudah "ditundukkan" oleh tokoh politik non pemuka agama, tidak perlu digarap "pakai baju ormas" (PBNU), justru malah bisa "lari" karena dalam persepsi mereka tokoh agama tidak pas "cawe cawe" urusan politik.
Kedua pemilih NU berbasis jaringan sosial pesantren dan ormas ormas Islam lain. Ini disebut Clifford Gerzt varian pemilih "santri" secara akumulatif dalam pemilu 1955 sebesar 43%, himpunan elektoral dari pemilih partai NU, Masyumi, perti, PSII dll, sering disebut pemilih "partai Islam" dalam khazanah politik di Indonesia.
Pemilih partai NU tahun 1955 - NU paling solid dalam sejarah pemilu - sebesar 18%, kini mengalami proses "pencairan", atau "konvergensi" dalam istilah Dr. Kuntowijoyo akibat keputusan "khttah" NU dan dampak kebijakan politik "de aliranisasi"/non aliran", strategi politik Orde Baru hingga di era reformasi saat ini.
Pemilih "santri" dalam pengertian demografis pemilih partai NU di atas relatif mengikuti arahan pilihan "kiai kampung" dalam istilah Gus Dur disebut "kultural broker", peran "penyambung lidah" kiai dalam perekat sosial.
Pilihan politik pemilih NU dalam konstruksi sosial di atas dengan "ceruk" terbatas dalam demografi pemilih di Indonesia sulit ditundukkan PBNU secara hegemoni tunggal.
Selain karena peran "kiai kampung" atau NU kultural tidak dapat diabaikan dan beragam pilihan politiknya juga tergantung "dalil dalil fiqih" yang memperkuat argumentasi pilihan politiknya.
Sekurang kurangnya capres yang hendak didukungnya ada "bau bau" NU nya baik historis maupun ideologis.
Sementara Prabowo Gibran yang didukung PBNU ,dua sosok sama sekali "tidak NU" kecuali dipaksa untuk "di NU NU kan" secara politik.
Walhasil, hemat penulis PBNU tetap dalam "khittah" nya berperan sebagai pengayom umat, bukan menjadi "relawan politik" "pengepul" suara umat, sangat sulit berhasil. Ambyaaaar !!!
TAG#NU, #GANJAR MAHFUD, #TUANKU RAKYAR, #PDIP, #PILPRES2024
198731230
KOMENTAR