Bursa Asia Tanggapi Positif Negosiasi Dagang AS-China

Sifi Masdi

Wednesday, 20-02-2019 | 10:14 am

MDN
Indeks Nikkei Jepang [ist]

Jakarta, Inako

Bursa saham utama kawasan Asia kompak dibuka di zona hijau pada perdagangan hari ini, Rabu (20/2/2019). Indeks Nikkei naik 0,2%, indeks Shanghai naik 0,2%, indeks Hang Seng naik 0,63%, indeks Straits Times naik 0,48%, dan indeks Kospi naik 0,5%.

Hawa positif yang menyelimuti jalannya negosiasi dagang lanjutan antara AS dengan China membuat instrumen berisiko seperti saham menjadi incaran investor. 

Sebagai informasi, sebagai tindak lanjut dari pertemuan di China pekan lalu, negosiasi dagang lanjutan digelar di Washington mulai kemarin (19/2/2019) di tingkat wakil menteri. Pada hari Kamis dan Jumat, negosiasi tingkat menteri akan digelar, di mana Wakil Perdana Menteri China Liu He akan bertemu dengan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin.

Presiden AS Donald Trump kembali menebar optimisme dengan menegaskan bahwa 1 Maret yang merupakan tenggat waktu 'gencatan senjata' bukan sesuatu yang kaku, tetap bisa dinegosiasikan. 

"Ada pembicaraan yang kompleks, tetapi semua berjalan sangat baik. Saya tidak bisa mengatakan, tetapi tanggal itu [1 Maret] bukan sesuatu yang magis. Banyak hal yang bisa terjadi," kata Trump kepada wartawan di Oval Office, mengutip Reuters.

Pelaku pasar memang berharap banyak bahwa negosiasi dagang pada pekan ini setidaknya bisa meluluhkan hati Trump untuk memperpanjang periode gencatan senjata dengan China. Pasalnya jika tak diperpanjang, bea masuk bagi produk impor asal China senilai US$ 200 miliar akan dinaikkan menjadi 25% (dari yang saat ini 10%) mulai tanggal 2 Maret.

Lebih lanjut, sentimen positif bagi bursa saham Asia juga datang dari pernyataan bernada kalem (dovish) yang dilontarkan oleh pejabat The Federal Reserve selaku bank sentral AS.

Presiden The Fed New York John Williams mengatakan bahwa dirinya sudah puas dengan suku bunga acuan yang sekarang. Belum ada kebutuhan untuk menaikkannya, kecuali jika ada perubahan signifikan dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi atau inflasi Negeri Paman Sam.

"Saya tidak merasa perlu adanya perubahan [suku bunga acuan]. Namun akan berbeda ceritanya kalau ada proyeksi pertumbuhan ekonomi atau inflasi yang berubah," kata Williams kepada Reuters.

Dengan perlambatan ekonomi global yang kian terasa, tentu kebijakan moneter longgar menjadi opsi yang paling bijak.

 

 

KOMENTAR