Cak Imin Di Antara Prabowo Yang Rumit

Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan.
JAKARTA, INAKORAN
Media "detik" di halaman khusus "spotlight" berjudul "Harga(Tak Mati) Cak Imin" (edisi 22/8/2024) menggambarkan posisi politik Cak Imin, ketua umum PKB mulai "galau" pasca partai Golkar dan PAN "masuk" dalam koalisi pengusung capres Prabowo
Penulis berkebalikan perspektif dari cara pandang di atas. Justru Cak Imin adalah "kunci inggris" di antara bandul politik Prabowo dan Ganjar, dua capres yang berebut "coat tail effect" ( baca : efekt elektoral) dari politik "keberlanjutan" Jokowi.
Prabowo bisa "ambyar" jika terjebak dalam kerumitan atau sengaja merumit rumitkan "political game" dalam kerjasama politik bersama PKB.
Dalam konstruksi koalisi untuk memenuhi ambang batas (20%) pencalonan capres Prabowo memang PKB bisa jadi tidak menjadi "kunci" pasca masuknya partai Golkar dan PAN dalam koalisi pengusung capres Prabowo tetapi PKB menjanjikan "menu" lebih secara elektoral bagi insentif elektoral pemenangan Prabowo dalam pilpres 2024.
Peta survey "Litbang Kompas" (edisi Agustus 2023) dalam simulasi dua pasangan calon bersifat "head to head" Prabowo unggul dari Ganjar, yakni Prabowo 52% dan Ganjar 47%, selisih 5% dengan angka "margin off eror" sebesar 2,6%.
Selisih angka (5%) di atas tidak signifikan dan potensial bergeser ke Ganjar jika Cak Imin melabuhkan kekuatan basis elektoral PKB ke Ganjar. Itulah "menu" lebih PKB yang tidak dimiliki partai lain dalam koalisi partai pengusung Prabowo.
Baik Prabowo maupun Ganjar "disulap" dengan branding politik apapun tetaplah dalam persepsi demografi pemilih di Indonesia adalah tokoh politik "nasionalis", tidak memadai semata mata bersandar pada lkekuatan rumpun pemilih "nasionalis" dan issu l"keberlanjutan" Jokowi tanpa subsidi elektoral rumpun pemilih yang disebut Clifford Gertz pemilih "santri".
Rumpun pemilih "santri" di atas dalam konteks politik Cak Imin adalah "santri" dalam pengertian Dr. Zamakhsyari Dhofir dalam bukunya berjudul "Tradisi Pesantren" (1982), yakni jaringan sosial pesantren NU di mana PKB satu satunya partai yang dilahirkan dari "rahim" NJ dan Cak Imin tokoh politik "genuine" lahir dari geneologis NJ, bukan "NU naturalisasi" atau "meng NU - NU kan" diri.
Inilah yang menjadi kekuatan "party id" PKB dan Cak Imin, sebuah derajat kedekatan emosional, kultural, psyikholigis dan "suasana kebatinan" PKB dan Cak Imin dengan rumpun pemilih "santri" di atas, sulit "di cawe cawe" oleh kekuatan politik "luar" dan "orang dalam" yang berperan sebagai "proxi" kekuatan "luar".
Dengan kata lain, singkatnya, selisih 5% keunggulan Prabowo atas Ganjar dalam simulasi dua pasangan sebagaimna temuan survey "litbang kompas" di atas dengan mudah "bermigrasi" setidaknya 10% pemilih "loyal dan "party id" PKB mengikuti kemana Cak Imin melabuhkan diri dalam kutub pilpres 2024.
Karena itu dalam hemat penulis Prabowo tidak perlu merumit rumitkan diri dengan "menggantung" terlalu lama point point dalam piagam perjanjian kerjasama Gerindra dan PKB.
Makin rumit Prabowo memainkan "political game" bukan Cak.Imin "galau" justru makin dinikmati oleh Cak Imin, tokoh politik yang lahir "genuine" dari rahim NU dalam sejarah politik Indonesia memang dikenal piawai bermain di area politik yang rumit rumit.
Dalam konteks ini mungkin tepat lirik lagu Bang haji Rhoma Irama - jika "kau yang berjanji dan kau yang ingkari", besar peluang Prabowo "ambyar" untuk ketiga kalinya dalam pilpres 2024.
TAG#ADLAN
190231738

KOMENTAR