Catatan Jelang Tahun 2020: Intoleransi dan Politik Identitas Masih Bayangi Masa Depan Toleransi dan Harmoni Keberagaman di Indonesia

Sifi Masdi

Saturday, 28-12-2019 | 09:48 am

MDN
Pengamat Kebangsaan dan Budaya Tjoki Aprianda Siregar [dok:pribadi]

Jakarta, Inako

"Di tahun 2020, intoleransi dan politik identitas diperkirakan masih terus akan membayangi masa depan toleransi dan harmoni keberagaman di Indonesia. Pemerintah dan seluruh unsur masyarakat perlu segera melakukan mitigasi dan pencegahan secara terkoordinasi agar persatuan dan kesatuan bangsa tidak terbelah", demikian dinyatakan Tjoki Aprianda Siregar, Pengamat Kebangsaan dan Budaya, ketika dihubungi InaKoran.com, Sabtu (28/12/2019).

Anggota Dewan Pengarah Badan Pembina Idiologi Pancasila [BPIP) berdiskusi dengan Presiden Joko Widodo di Istana [ist]

 

Hanya dalam hitungan hari, fajar baru tahun 2020 akan tiba. Di tengah dinamika digitalisasi di berbagai bidang kehidupan di berbagai belahan dunia, adanya nuansa ketegangan di sejumlah tempat, serta perlambatan laju pertumbuhan ekonomi di berbagai negara dan  memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perekonomian Indonesia, fenomena intoleransi diantisipasi masih akan terjadi di sejumlah daerah.

Tjoki mengutip pernyataan Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) kepada media setelah berbicara dalam sebuah diskusi di Jakarta pada bulan November lalu, bahwa terdapat kecenderungan sikap intoleransi semakin menguat, termasuk di kalangan generasi muda terdidik. Terjadi peningkatan indeks sikap intoleransi, yang sebelumnya sekitar 20-an persen pada tahun 2012, menjadi di atas 50 persen tahun 2018.

Ilustrasi penolakan kekerasan atas nama agama [ist]

 

Memperhatikan bahwa kenaikan indeks intoleransi tersebut berdasarkan hasil kompilasi kajian Komnas HAM, laporan yang masuk ke Komnas HAM, penelitian media dan sejumlah lembaga pemerhati kasus HAM dan kebebasan beragama, menurut Tjoki, ini sudah masalah serius.

Tjoki memprediksi, kejadian semacam penyerangan atau persekusi terhadap beberapa jemaat dan seorang pastur di Gereja Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta, perusakan 3 patung di Pura Mandhara Giri Semeru Agung, Sendoro, Lumajang, Jawa Timur, beredarnya video penolakan terhadap bhiksu Buddha, Muryanto Nurhalim, di Legok, Tangerang, Banten, dalam kurun waktu tahun 2019 ini, dapat terjadi lagi di tempat-tempat lain di Indonesia pada tahun 2020 apabila tidak ada kebijakan atau langkah tegas dan efektif yang diambil Pemerintah dan aparat keamanan.

“Merujuk hasil survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) bulan Agustus 2018, warga Muslim cenderung intoleran kepada non-Muslim di bidang politik, 59% responden Muslim keberatan non-Muslim menjadi presiden, 55% keberatan non-Muslim menjadi Wapres, 52% keberatan non-Muslim menjadi gubernur, bupati atau walikota. Secara umum, temuan LSI mengindikasikan bahwa warga Muslim keberatan jika non-Muslim menjadi pemimpin pemerintahan di berbagai tingkat, terutama sejak awal kemunculan aksi 212 pada tahun 2016,” tegas pria yang pernah bertugas sebagai diplomat di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), Singapura.

Ilustrasi penghargaan terhadap kebebasan beragama [ist]

 

Selain intoleransi, Tjoki memprediksi bahwa fenomena politik identitas akan tetap muncul pada tahun 2020, terutama dengan akan berlangsungnya kembali pemilihan kepala daerah (pilkada) di berbagai daerah pada tahun depan, dimana sejumlah calon diperkirakan akan mengusung isu-isu bernuansa SARA (suku, agama dan ras) untuk menjatuhkan reputasi lawan-lawan politiknya di pilkada demi meraih dukungan pemilih.

Masih akan terus membayanginya intoleransi dan politik identitas pada tahun-tahun mendatang disebut Tjoki,  tidak terlepas dari penggunaan isu-isu SARA dan pembedaan antara mayoritas warga agama tertentu dengan minoritas oleh pasangan calon kepala daerah dalam kampanyenya, dan pemanfaatan keberadaan kelompok pengusung ajaran agama yang selama ini menunjukkan sikap intoleran oleh pihak tertentu untuk mendukung calon kepala daerah tertentu.

Tjoki mengkhawatirkan, bila hal-hal tersebut terus terjadi di tahun 2020, akan membuat bangsa Indonesia terpecah-belah dalam 5 hingga 10 tahun ke depan. Persatuan dan kesatuan yang diidamkan menjadi bermakna semu, dan cita-cita untuk menciptakan generasi muda kita saat ini menjadi Generasi Emas saat Indonesia berusia seabad pada tahun 2045 hanya akan menjadi utopis semata.

Karenanya perlu adanya kesadaran kolektif seluruh anak bangsa terhadap seriusnya ancaman intoleransi dan penggunaan politik identitas ini, tidak hanya dari pemerintah dan partai, kelompok atau anggota masyarakat pendukung pemerintah, namun juga partai-partai atau kelompok dan individu yang selama ini beroposisi atau tidak menyukai pemerintah.

Tjoki meminta agar kepentingan kelompok dikesampingkan dahulu untuk memprioritaskan kepentingan yang jauh lebih besar, yakni menanggulangi ekstrimisme atau radikalisme, serta intoleransi dan politik identitas sebagai turunannya. Dalam kaitan ini, disesalkannya sikap atau pernyataan beberapa kelompok politik atau politisi tertentu di depan media yang menyebutkan isu radikalisme merupakan pengalihan isu atau untuk mengaburkan ancaman komunisme yang mereka nyatakan tetap eksis sebagai "bahaya laten" di Indonesia.

Menurut Tjoki, ide-ide komunisme terbukti sudah tidak laku lagi di dunia, dengan negara-negara yang menyebut diri mereka negara komunis seperti Tiongkok dan Vietnam sudah tidak murni komunis dengan menerapkan ekonomi pasar terbuka yang kapitalis.

Langkah yang diambil Kementerian Agama dengan membuat Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) dari 34 provinsi di Indonesia menunjukkan Papua dan NTT sebagai dua provinsi dengan indeks tertinggi atau paling toleran dinilai Tjoki patut dipuji. Demikian pula dengan penyelenggaraan peringatan Hari Toleransi Internasional oleh kota Salatiga tiap tahun.

Namun yang perlu dilakukan bukan hanya itu. Mengutip program Revolusi Mental, penguatan pendidikan karakter, dan upaya pemajuan kebudayaan yang pernah dicanangkan oleh pemerintahan periode pertama Presiden Jokowi, menurut Tjoki, masih diperlukan pemasyarakatan nilai-nilai luhur Pancasila, penghargaan akan keragaman sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang intinya adalah kebersamaan, gotong royong berdasarkan sikap saling menghargai dan toleransi. Diharapkannya pemerintah, khususnya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) akan muncul dengan program konkret sosialisasi nilai-nilai Pancasila di tahun depan ini, tidak harus sama persis dengan penataran P4 semasa Orde Baru, namun efektif.

Menurut Tjoki, pemasyarakatan sikap toleran yang antara lain dijiwai nilai Pancasila dapat pula dilakukan dengan memasukkan kembali pendidikan Pancasila ke dalam kurikulum pendidikan formal dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, serta revisi materi pendidikan agama di sekolah-sekolah agar termuat nilai-nilai yang menghargai umat beragama lain dan tidak eksklusif. Selain itu diperlukan kebesaran jiwa politisi-politisi berpengaruh yang selama ini "berseberangan" dengan pemerintah untuk berhenti mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang sepertinya ingin meremehkan keseriusan masalah radikalisme yang memicu intoleransi dan mulai menunjukkan kenegarawanan.


 

 

KOMENTAR