Catatan Penting Yang Belum Banyak Diketahui Mengenai Singapura Menyusul Penolakan Masuknya UAS ke Negara Itu

Oleh Tjoki Aprianda Siregar
Peristiwa penolakan Ustadz Abdul Somad (UAS) oleh Pemerintah Singapura untuk memasuki wilayah negara tetangga Indonesia itu belum sebulan yang lalu berlangsung. Kegusaran sejumlah pihak, simpatisan atau tokoh di dalam negeri, termasuk dari UAS sendiri, masih menjadi pemberitaan. Massa yang menyebut diri dari kelompok Pertahanan Ideologi Sarekat Islam (PERISAI) dan simpatisan lainnya bahkan melakukan unjuk rasa di depan Kedubes Singapura di Jakarta dan Konsulat Jenderal Singapura di Medan. Padahal Pemerintah Singapura melalui kementerian dalam negerinya telah mengeluarkan rilis ke publik untuk menjelaskan alasan yang melatar belakangi penolakan terhadap UAS memasuki Singapura tersebut. Rilis Kemdagri Singapura tersebut menyebutkan bahwa penolakan karena UAS dalam ceramahnya mengajarkan segregasi, menghina umat beragama lain, mengajarkan tindak kekerasan dalam menyelesaikan masalah Palestina menghadapi Israel, dan apabila dibiarkan memasuki Singapura, dikhawatirkan akan mengganggu kehidupan yang harmonis masyarakat multietnis atau multirasial Singapura yang beragam agama atau kepercayaannya.

Penjelasan Kemdagri Singapura tersebut seolah tidak memuaskan pendukung atau simpatisan dan bahkan UAS. Media memberitakan bahwa akun-akun media sosial Presiden Singapura, Halimah Yacob, dan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien-loong, termasuk akun twitter keduanya dikirimi pesan ancaman bahwa Singapura akan mengalami peristiwa seperti 9/11 di Amerika Serikat pada tahun 2001.
Peristiwa penolakan UAS oleh Pemerintah Singapura untuk memasuki negaranya mengingatkan penulis semasa bertugas sebagai praktisi hubungan luar negeri di Singapura terhadap peristiwa Ustadz Sholeh Mahmud atau lebih dikenal dengan sebutan Ustadz Solmed, sama-sama ulama seperti halnya UAS, yang ditolak memasuki Singapura pada Juni 2017. Namun bukan itu saja, penolakan masuk Singapura terhadap Amalia Ayuningtyas dan Richard Handris Saerang, dua pendiri kelompok Kawan Ahok pada Juni 2016, dan sempat tertahannya Letjen (Purn) Johannes Suryo Prabowo, mantan Wakil KSAD, untuk menjalani ”investigasi” hingga beberapa jam pada saat transit di Bandara Internasional Changi, Singapura, pada Agustus 2016, untuk melanjutkan perjalanan ke suatu negara. Artinya, penolakan dan terhambatnya perjalanan mereka tersebut ada juga yang bukan karena alasan kekhawatiran pemberian ceramah agama.
Penolakan terhadap masuknya Amalia dan Richard tampaknya karena mereka akan melakukan aktivitas politik atau berkampanye untuk Ahok yang pada waktu itu tengah dicalonkan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sesuai Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri Singapura, aktivitas politik atau kampanye untuk kepentingan politisi negara lain di Singapura tidak dimungkinkan. Di Singapura, melakukan unjuk rasa masih dimungkinkan sepanjang bukan menyangkut politik negara lain atau mengenai bukan isu politik. Lokasi unjuk rasa di Singapura pun ditentukan pemerintah hanya satu, yakni Speaker’s Corner di Hong Lim Park. Penulis mencatat unjuk rasa massa yang berlangsung sekitar sebulan yang lalu di tempat itu adalah mengenai tuntutan mereka agar hukuman mati dihapuskan di Singapura. Sementara itu, penulis hingga kini belum menemukan dengan jelas hal-hal yang melatarbelakangi dilakukannya “investigasi” oleh aparat Singapura terhadap Jenderal Suryo Prabowo saat transit di Bandara Changi. Satu-satunya kemungkinan yang terlintas di pikiran penulis adalah terkait pelaksanaan tugas beliau sebagai Wakil Danrem dan kemudian Wakil Gubernur Timor Timur di masa Orde Baru. Namun pada saat itu pun beliau tengah menjalankan tugas sebagai perwira menengah militer dan kemudian pejabat tinggi Pemerintah RI.

Mungkin banyak yang tidak mengetahui bahwa pada Mei 2018, Pemerintah Singapura juga menolak seorang pendeta Kristen asal Amerika Serikat bernama Lou Engle memasuki wilayahnya. Dalam ceramahnya di Singapura, yang bersangkutan memberikan komentar negatif mengenai Islam. Seorang pastor asal Australia, Collin Maxwell Stringer, yang memberikan ceramah pada Maret 2019, juga menyampaikan pandangan yang memecah belah masyarakat. Keduanya kemudian dilarang memberikan ceramah agama di Singapura dan meminta mereka meminta maaf kepada ulama dan masyarakat Muslim di Singapura.
Berbeda dengan peristiwa penolakan terhadap UAS yang mendapat pemberitaan begitu gegap gempita, ditambah UAS juga memprotes sedemikian keras perlakuan yang diterimanya, sehingga desakan terhadap Pemerintah Indonesia dan juga Kedubes RI di Singapura untuk meminta penjelasan kepada Pemerintah Singapura pun ditindaklanjuti dengan penyampaian nota resmi permintaan penjelasan, pada akhirnya Pemerintah Singapura pun memberikan penjelasan resmi, pada kasus-kasus penolakan masuknya Ustadz Solmed, Amalia Ayuningtyas dan Richard Henris Saerang, serta “investigasi” Letjen (Purn.) Koesprabowo, meski Kedubes RI telah mengirimkan nota permintaan penjelasan, seingat kami tidak ada tanggapan atau penjelasan resmi dari Pemerintah Singapura. Dalam hukum internasional, Singapura sebagai suatu negara berdaulat, sekecil apa pun ukuran wilayah dan penduduknya tidak berkewajiban atau tidak perlu menjelaskan alasan penolakan terhadap seorang WNI memasuki wilayahnya. Hal serupa dapat pula dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap seseorang warga negara asing yang ingin memasuki wilayahnya namun terindikasi akan mengganggu keamanan dan ketertiban serta mengancam integritas wilayah NKRI.
Pasca penjelasan resmi Pemerintah Singapura, alih-alih dapat memahami latar belakang penolakan UAS tersebut, baik UAS maupun para pendukung, simpatisan dan beberapa tokoh, tetap menuntut Pemerintah Singapura meminta maaf kepada UAS atau umat Muslim Indonesia. Diantara mereka ada yang menstigmatisasi Pemerintah Singapura bersikap “Islamophobia” dan meminta masyarakat Indonesia untuk tidak berlibur ke Singapura dan memboikot membeli produk-produk Singapura.

Sebagai praktisi hubungan internasional yang pernah bertugas di Singapura dari tahun 2015 hingga awal tahun 2019, terdapat sejumlah catatan penting yang mungkin belum diketahui banyak orang di Indonesia yang ingin penulis sampaikan. Terdapat sekitar 200,000-250,000 warga negara Indonesia yang tinggal bekerja formal, menempuh studi, mengikuti suami/isteri dan bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di Singapura. Jumlah mereka yang bekerja sebagai ART sekitar 50,000 orang diantaranya. Sebagian besar beragama Islam, menikmati pekerjaan mereka dan merasa sangat terbantu perekonomian keluarganya dengan bekerja di Singapura. Pada saat kami bertugas di Singapura, Kedubes RI menetapkan batas minimal gaji ART S$ 1,400-1,500 per bulan (Rp 14 juta / Rp 15 juta) yang diminta untuk ditaati para agen tenaga kerja dan majikan Singapura. Hal ini bermakna, apabila permintaan agar masyarakat Indonesia untuk tidak berlibur ke Singapura dan tidak membeli produk-produk Singapura, akan mempengaruhi perekonomian negara itu, tidak tertutup kemungkinan harga-harga di Singapura akan naik meski mungkin awalnya tidak terlalu signifikan, namun dikhawatirkan akan memberatkan ART kita yang bekerja di sana. Sebagai informasi, jumlah wisatawan Indonesia termasuk 2 besar dengan wisatawan asal Tiongkok. Kadang di satu tahun Indonesia menempati peringkat pertama jumlah wisatawan asing ke Singapura, dan di tahun berikutnya Tiongkok.
Penulis tidak perlu mengulang-ulangi hal yang pernah disampaikan sejumlah pengamat bahwa Presiden Singapura saat ini, Halimah Yacob, adalah seorang Muslim, dan suami beliau, Abdullah bin Assagaf, adalah seorang habib keturunan Yaman yang Muslim tulen. Stigmatisasi pendukung atau simpatisan UAS bahwa Sinapura “Islamophobia” terbantahkan dengan sendirinya. Sebagai informasi, Presiden pertama Singapura, Yusof Ishak, juga seorang Muslim. Sebagian masyarakat kita mungkin bisa memperdebatkan bahwa Singapura dulunya bernama Tumasik atau Tumasek yang merupakan bagian dari salah satu kesultanan Islam di Kepulauan Riau atau daratan Riau. Namun hal tersebut di masa lampau, ketika pada saat itu belum ada negara-negara seperti Indonesia, Malaysia dan Singapura, serta yang eksis hanya negara-negara kolonial seperti Inggris, Belanda dan Portugal di sekitar wilayah ketiga negara Asia Tenggara tersebut pada masa itu. Romantika lama kurang tepat dijadikan dasar sentimen kita karena jengkel terhadap Singapura.

Dari sekitar 5,45 juta jiwa penduduk Singapura pada tahun 2021, sekitar 40%-nya adalah imigran asing, sehingga jumlah warga negara Singapura sekitar 3,3 juta jiwa. Sekitar 13,4%-nya atau sekitar 490 ribu lebih jiwa beretnis warga etnis Melayu dan beragama Islam. Meski merupakan kelompok etnis terbesar ke-2 setelah kelompok etnis Tionghoa yang jumlahnya 75% dari total warga negara Singapura, pengalaman penulis, relatif mudah mencari masjid di Singapura untuk menunaikkan ibadah sholat Jum’at dan sholat berjama’ah lainnya. Terdapat sekitar 30 masjid indah tersebar di seluruh Singapura, termasuk Masjid Sultan yang terletak di kawasan Arab Street di tengah kota Singapura yang populer itu. Tidak ada hambatan atau kendala bagi umat Muslim Singapura, Indonesia dan negara lainnya untuk menjalankan ibadah di Singapura.
Masjid Ba’alwi di tengah kota merupakan masjid yang mungkin termasuk paling ramai dikunjungi jama’ah dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Penulis teringat menunaikkan ibadah sholat Jum’at dan Tarawih di masjid yang diimami oleh Syed Habib Hassan Al-Attas yang bermenantukan orang Indonesia tersebut. Salah seorang ulama besar Indonesia yang pada sejumlah kesempatan memberikan taushiyah di masjid tersebut adalah Prof. Dr. KH M. Quraish Shihab.
Selain Prof. Quraish Shihab, selama penugasan penulis pada tahun 2015-2019, Prof. Dr. KH Said Aqil Siradz, Ketua Umum PB NU pernah berkunjung 2 kali dan memberikan ceramah di Singapura. Isi taushiyah Prof. Quraish Shihab yang menyejukkan hati mengenai Islam yang Rahmatan Lil’ Alamiin (Islam yang cinta damai dan bermuatan kasih sayang), dan isi ceramah Buya Said mengenai nilai toleransi dan nilai-nilai harmoni antar umat agama yang berbeda secara berdampingan sangat diapresiasi oleh masyarakat Singapura, bukan hanya oleh pemerintahnya.
Mungkin tidak banyak masyarakat Indonesia di tanah air yang mengetahui bahwa pada 10-14 Juli 2017, Indonesia dan Singapura pernah menyelenggarakan Dialog Antar Pemuka Agama atau Indonesia-Singapore Interfaith or Intercultural Dialogue (ISID) yang pertama. Pada ISID I yang berlangsung di Singapura tersebut, sejumlah tokoh agama dari Indonesia yang hadir termasuk Prof. Dr. H. Abdul Mu’ti, M.Ed, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Pendeta Martin Lukito Sinaga dari PGI, seorang wakil dari PBNU, seorang lagi wakil KWI, dan seorang wakil PHDI (mohon maaf, penulis lupa nama mereka). Para tokoh agama dari kedua negara sepakat untuk bekerja sama mengatasi masalah-masalah bersama terkait upaya untuk mewujudkan kehidupan antar umat berbeda agama dengan toleransi, harmonis dan saling menghormati satu sama lain.
Di Singapura terdapat umat lebih dari 10 agama dan kepercayaan hidup berdampingan secara damai dan saling bertoleransi, yakni Buddha, Islam, Protestan, Katolik, Tao, Hindu, Sikh, Jain, Zoroaster, Yahudi, Baha’i. Umat dari agama-agama tersebut dibebaskan mendirikan tempat beribadah dan menjalankan ibadah oleh pemerintah. Para tokoh agama-agama tersebut mendirikan Inter-Religious Organisation (IRO) Singapura yang merupakan organisasi non-pemerintah yang bertujuan memelihara kehidupan yang harmonis antar umat beragama. Penulis masih ingat bahwa sekretariat organisasi ini berada di lantai 4 gedung B Kementerian Pembangunan Singapura di Jalan Maxwell, dan di lantai dasar gedung yang sama terdapat Galeri Harmony of Interfaith yang terbuka untuk umum.
Radical Rehabilitation Group (RRG) yang merupakan kelompok relawan yang terdiri dari para ulama dan ustadz/guru agama Islam di Singapura, juga mengeluarkan pernyataan yang menganggap ceramah UAS mengenai perang jihad dengan menggunakan bom menunjukkan kekeliruan pemahamannya mengenai prinsip-prinsip dan kebiasaan dalam perang yang berlaku dalam Islam. Kantor RRG berada di kawasan Arab Street dan juga memiliki galeri mengenai bahaya ekstrimisme atau radikalisme di salah satu bagian gedung kantornya.
Selain IRO dan RRG, Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) juga aktif mempromosikan toleransi dan kehidupan yang damai dan harmonis antar umat beragama yang berbeda secara berdampingan. MUIS membangun secara khusus Pusat Harmoni An-Nahdhah yang diresmikan pada tahun 2006 oleh Perdana Menteri Lee Hsien Loong. Pembangunan Pusat Harmoni ini dimaksudkan untuk mempromosikan saling pemahaman dan interaksi yang lebih besar antar umat berbeda agama di Singapura. Terdapat pula masjid indah bernama sama di dalam areal Pusat Harmoni ini dibangun (Masjid An-Nahdhah).

Catatan penting mengenai Singapura ini penulis buat untuk memungkinkan publik Indonesia memahami mengenai Singapura, bahwa masyarakat multietnis dan beragam agama atau keyakinannya tersebut dapat hidup berdampingan secara damai, saling toleran dan menghormati satu sama lain berkat komitmen bersama pemerintah dan para tokoh agamanya. Untuk memastikan pemahaman agama dari luar yang dapat memprovokasi warganya, Pemerintah Singapura tidak segan untuk menolak ulama dan pendeta asing atau orang-orang asing dengan kategori yang dianggap dapat mengancam berdasarkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (Internal Security Act)-nya untuk memasuki wilayahnya.
Berdasarkan pengamatan dan hasil berbincang-bincang dengan pejabat pemerintah dan sejumlah tokoh agama semasa bertugas di Singapura tahun 2015-2019, penulis mendapatkan kesan kuat bahwa Pemerintah Singapura dan aparatnya senantiasa melakukan pengamatan terhadap tokoh-tokoh agama dan individu-individu atau siapa pun yang diketahui sering memberikan pernyataan kontroversial, termasuk mengajarkan kekerasan atas nama agama, di negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia. Rekam jejak digital mereka jelas. Di masa teknologi digital ini, pernyataan-pernyataan seseorang akan segera mudah diketahui apabila orang tersebut aktif di berbagai media nasional dan akun media sosial. Artinya, sekiranya individu semacam ini yang pernyataan atau isi ceramahnya dianggap Pemerintah Singapura dapat memprovokasi rakyatnya yang multietnis dan multireligi, meski hanya berencana untuk memasuki Singapura di kemudian hari untuk tujuan liburan, perlu bersiap sekiranya ditolak masuk. Bagi Singapura, yang terpenting bukan hanya keamanan, ketertiban, perdamaian, dan kemakmuran ekonominya yang dipertaruhkan sebagaimana salah seorang pengamat politik Indonesia dalam salah satu siaran televisi pernah berkomentar, namun bagi penulis adalah keberlangsungan keberadaan Singapura dan rakyatnya (survivability of Singapore and its people) sebagai konklusi tulisan ini.
Tjoki Aprianda Siregar adalah praktisi hubungan Internasional. Pandangan yang bersangkutan semata merupakan pandangan pribadi berdasarkan pengalaman yang bersangkutan.
KOMENTAR