Deklarasi Kemuliaan Pilkada

Johanes

Sunday, 01-03-2020 | 15:02 pm

MDN
Adlan Daie, Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat

Oleh :  Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat.


Indramayu, Inako

Dalam timbangan Herbeit Feth, seorang advisor politik yang diperbantukan dalam mendesain persiapan pelaksanaan pemilu pertama di Indonesia, tahun 1955 secara jujur, adil dan mulia sebagaimana tertuang dalam bukunya The Indonesian Election Of 1955,  dari sisi adaptasi model analisisnya sekurang-kurangnya dual hal secara update dapat merusak kemuliaan pilkada Indramayu tahun 2020 baik dalam konteks input proses politik elektoralnya maupun out hasil kepemimpinan politik  pilkadany ,yakni :

Pertama,  beredarnya intruksi via media sosial pemanfaatan pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) dengan modus pemberian dana operasional 200 ribu rupiah/ pendamping dari APBD dengan titipan politik penyebaran alat kampanye salah satu calon bupati yang diproyeksikan salah satu partai. Jika informasi di atas valid bukan saja para pendamping PKH tersebut terancam dipecat secara tidak hormat dari tugas-tugasnya oleh Kementerian Sosial tapi cara ini dan cara-cara lain yang serupa, misalnya, pengggiringan institusi pendidikan, para ustadz dan lain-lain untuk kepentingan elektoral politik harus diakhiri.

Konstruksi cara politiis di atas dalam kontestasi politik elektoral termasuk kategori politik tidak  beradab,  primitif dan merusak kemuliaan pilkada dengan manipulasi secara sistemik membuka ruang kemungkinan justru dilawan oleh gerakan masyarakat sipil dan oposisi politik hingga meruntuhkan kekuatan elektoralnya sebagaimana dulu terjadi pada kasus bagi bagi sembako di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menenggelamkan Ahok dalam jurang kekalahan.

Kedua, out put pilkada adalah Tashorruful imam 'ala al roiyah manutun  bil maslahah,  yakni kepemimpinan politik yang terikat kontrak untuk maslahat publik dan terukur hasilnya  dalam statistik modern seperti IPM. Bukan dalam  khotbah politik pejabat manipulatif dan muslihat birokratis.

Tentu kita geram membuncah di dada saat membaca salah satu media online salah seorang warga Indramayu begitu kesulitan sekedar mengurus KTP hingga berbulan- bulan dan sekedar dijawab ringan oleh seorang pejabat bahwa pemda kekurangan blangko E-KTP (baca : metro News, 19 pebruari 2020)

Pertanyaan kita, bagaimana kita memahami cara kerja para pejabat publik dengan gaji dan dana operasional sangat cukup dari pajak rakyat didukung SDM para birokrat yang memadai, fasilitas kantor ber- AC, sistem digitalisasi yang canggih dan lain lain hingga sekedar mengurus layanan dasar rakyat seperti KTP dan KK hanya berputar-putar argumentnnya di bawah standar logika publik?

Betapa miris dan rendahnya mentalitas para  pejabat senang bermuslihat pada rakyatnya, mengabdi pada kepentingan politik partisan dan menuntut ketaatan rakyatnya tapi minus keterpanggilan tanggung jawabnya untuk mengadaptasi jasa layanan swasta kecil selevel TIKI, JNE, JNT dan lain lain yang telah memberi kenyamanan, kemudahan dan kecepatan layanan pada konsumennya.

Dalam kerangka inilah penulis bersetuju dengan pandangan KH. Syatori, ketua MUI Indramayu, yang beredar di laman facebooknya tanggal 12 januari 2020. Beliau menulis Kalau indramayu ingin terbangun secara baik kita hilangkan politik transaksional. Apapun yang diawali dengan ketidak baikan, wis mangsa bener benera. Sebuah narasi singkat, padat, tajam dan menghunjam ke ulu virus penyakit politik manipulatif dan transaksional.

Dalam perspektif penulis politik transaksional tidak sekedar bermakna  bagi bagi sembako dan amplop, lebih dari itu, memanfaatkan APBD dan jaringan birokrasi untuk kepentingan politik elektoral penguasa bukan untuk pelayanan publik jauh lebih dahsyat dan masif daya rusaknya  bagi sendi sendi kehidupan rakyat. Ibarat hulu air kotor mengalir ke pipa pipa birokratis hingga meracuni pikiran dan suasana kebatinan rakyat.

Di sinilah pentingnya kesadaran kolektif untuk deklarasi bersama menjaga bukan saja agar pilkada Indramayu tahun 2020 berjalan damai dan aman melainkan menjaga kemuliaan prosesnya dari muslihat politik tidak beradab dan primitif. Tanpa kesadaran inilah apa yang dikhawatirkan ketua MUI  di atas bawa  Apapun yang diawali dengan ketidak baikan wis mangsa bener benera akan selalu berulang dalam tata kehidupan politik Indramayu.

Dengan kata lain,  yang tersisa dari proses dan hasil pilkada hanyalah memelihara  prilaku koruptif makin masif, birokrasi manipulatif, IPM mangkrak dan mampet hingga saat ini dan layanan dasar publik yang menyiksa kecuali rakyat sekedar disuguhi jualan visi misi religius yang tidak paham apa makna religius   dalam konteks politik sebagaimana dirumuskan Imam Al Mawardi dalam kita bnya Al Ahkam Al Sulthoniyah yakni menjaga norma dan nilai agama serta tata kelola dunia yang maslahat bukan mafsadat yang koruptif.

Semoga bermanfaat

KOMENTAR