Dewa dan Epicentrum Politik Indramayu

Hila Bame

Sunday, 21-06-2020 | 16:13 pm

MDN


Oleh.  : Adlan Daie

Pengamat dan peneliti politik elektoral Indramayu

 

Jakarta, Inako

 

Dewa, panggilan politik dari H. Dedi Wahidi, anggota F PKB DPR RI, kini menjadi epicentrum, sebuah pusat magma politik Indramayu menjelang kontestasi pilkada serentak tahun 2020 meski standing politik Dewa dalam istilah saudara Amroni, ketua fraksi PKB DPRD Indramayu masih bersifat "MM" (Menunggu Mau) di tengah desakan massif berbagai kalangan memintanya maju mulai dari cara lunak.hingga keras dengan berbagai modus framing media, silaturahim politik dan cara cara lain yang halal dan beradab  dalam kerangka etik sistem demokrasi.


Tak kurang Ono Surono, ketua DPD PDIP jawa Barat, anggota DPR RI  bersama jajaran DPC PDIP Indramayu, juga H.Herman Khaeron, fungsionaris DPP partai Demokrat, para pensiunan dan  jaringan sipil lainnya sering bertandang silaturahim ke Kampus Hijau, pusat pendidikan NU terbesar dan terbaik infrastruktur dan SDM nya  di Jawa Barat, tempat di mana Dewa tinggal bersama keluarga. Bahkan Daniel Muttaqin pun, anggota DPR RI, putra H. Yance, tokoh politik berpengaruh tak ketinggalan  silaturahim ke Dewa meski tentu varian kepentingan politiknya berbeda.


Fenomena politik diatas dapat dimaknai dari beragam tafsir dan perspektif setidaknya dalam konteks sudut pandang penulis bahwa Dewa bukan sekedar tokoh politik dalam bingkai ikat PKB, partai yang  dibidani penuh proses kelahirannya di Indramayu,  dibesarkan dan dirawatnya secara istiqamah, melainkan lebih dari itu Dewa adalah titik temu (Kalimatun sawa') dari persilangan beragam kepentingan bertemu dalam satu titik koordinat arah kiblat perubahan. Inilah Dewa hari ini, pusat epicentrum politik  Indramayu untuk gerakan perubahan.


Tentu posisi dan maqom politiknya di atas dicapainya tidak instan. Prosesnya sangat panjang dari intensitas aktivitas organisasi hingga dinamika suasana kebatinan politik telah mengasah dan membentuknya  bertumbuh sikap, mentalitas, dan ketrampilan organik membangun jaringan dan perkawanan politik yang mapan dan membatin. Inilah antara lain yang menjelaskan kenapa Dewa tidak perlu mendaftarkan diri ke partai partai politik akan tetapi justru diminatinya untuk maju tanpa intensi konsolidasi secara khusus,  tebar baliho,  banner dan lain lain.


Problemya adalah fakta yang tak terhindarkan bahwa  realitas sosial politik masyarakat Indramayu sekurang kurangnya yang terekam dalam salah satu data survey relatif rendah tingkat "awareness", atau kesadaran politiknya dan tingkat apatismennya tinggi, relatif tidak peduli siapa pun bupati terpilih kelak karena dalam persepsi mayoritas diam publik nyaris tidak terhubung konektiivitas manfaatnya dengan tingkat kehidupan dan kesejahteraan mereka selain bunyi sirine  mobil pejabat yang mengaung ngaung tak jarang mengganggu ketenangan suasana ruang publik.


Dalam level kesadaran dan apatisme politik di atas itulah tentu sulit dalam waktu singkat menarik masyarakat ke level kesadaran partisipasi politik kecuali mobilisasi politik dengan resiko ongkos politik sangat tinggi. Konsekwensinya siapa pun yang terpilih kelak menanggung beban bukan bagaimana mensejahterakan rakyat tapi bagaimana mencari modus politik untuk mengembalikan modal atau  melunasi talangan dari investor politiknya yang tentu tidak ada jalan lain kecuali jual beli jabatan, bisnis perijinan dan fee proyek dengan rekayasa sistemik dan canggih untuk menghindar dari delik hukum.


Itulah yang menggelayut dalam pikiran Dewa selama ini sepanjang  berdiskusi intens bersama penulis hingga kini belum ditemukan jalan keluarnya secara beradab kecuali tawaran investor politik dengan rumus baku "No, free lunch",  tidak ada makan siang gratis. 


Opsi jalan beradab yang tersisa hanyalah semangat kolektivitas gotong rotong pikiran, tenaga dan lain lain berkoneksi dengan daya magnit ketokohan Dewa secara elektoral untuk menghadirkan perubahan. Sebuah jihad konstitusional antara lain  untuk keluar dari posisi mangkraknya IPM Indramayu ke level peradaban yang sewajarnya bersesuaian dengan kekayaan alam yang diwarisinya dari karunia Tuhan, Allah SWT.  


Di luar opsi yang tersisa di atas mengutip metafor Ibnu Khaldun dalam kitab "Mukadimah",  ibarat lilin kecil di lorong panjang   kegelapan non jauh di ujung sana sinar peradaban menunggu.

Semoga bermanfaat.

TAG#ADLAN DAIE

198736998

KOMENTAR