Dinilai Aneh, Tsunami Selat Sunda Picu Kewaspadaan Global

Binsar

Monday, 31-12-2018 | 10:58 am

MDN
Dinilai Aneh, Tsunami Selat Sunda Picu Kewaspadaan Global [ist]

Jakarta, Inako –

Masyarakat dunia dikejutkan dengan tsunami yang terjadi di Selat Sunda beberapa hari lalu. Pasalnya, tsunami jenis ini tergolong aneh, sehingga menciptakan kewaspadaan global.

Pihak berwenang seluruh dunia pun akhirnya terdorong untuk mencari upaya mempersiapkan diri untuk menghadapi tsunami aneh seperti yang terjadi di Selat Sunda itu manakala kejadian itu terja di di nefara mereka masing-masing.

Sebagaimana telah dilaporkan media tiap hari, tsunami pada 23 Desember lalu itu telah menewaskan sekitar 430 orang di sepanjang garis pantai Selat Sunda.

Kejadian itu memang begitu cepat dan mengagetkan warga. Tidak adanya sirene di kota dan pantai untuk memperingatkan warga sebelum rangkaian ombak mematikan itu menghantam pantai.

Seismolog dan pihak berwenang mengatakan badai faktor yang sempurna menyebabkan tsunami dan membuat deteksi dini nyaris tidak mungkin mengingat peralatan yang ada.

Tetapi bencana itu seharusnya menjadi seruan untuk meningkatkan penelitian tentang pemicu dan kesiapsiagaan tsunami, kata beberapa pakar, yang beberapa di antaranya telah melakukan perjalanan ke negara Asia Tenggara untuk menyelidiki apa yang terjadi.

“Indonesia telah menunjukkan kepada seluruh dunia sejumlah besar sumber yang berpotensi menyebabkan tsunami. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami peristiwa yang tidak terduga itu,” kata seismolog di University of Southampton, Stephen Hicks, seperti dilansir dari Reuters, Minggu (30/12/2018).

Sebagian besar tsunami tercatat dipicu oleh gempa bumi. Tapi kali ini letusan gunung berapi Anak Krakatau yang menyebabkan kawahnya runtuh sebagian ke laut saat air pasang, mengirimkan gelombang setinggi 5 meter yang menghantam daerah padat di pesisir pulau Jawa dan Sumatra.

Selama letusan, diperkirakan 180 juta meter kubik, atau sekitar dua pertiga dari pulau gunung vulkanik yang berusia kurang dari 100 tahun itu, runtuh ke laut.

Tetapi letusan itu tidak mengguncang monitor seismik secara signifikan, dan tidak adanya sinyal seismik yang biasanya terkait dengan tsunami membuat Badan Geofisika Indonesia (BMKG) awalnya mengirim tweet bahwa tidak ada tsunami.

Muhamad Sadly, kepala geofisika di BMKG, kemudian mengatakan kepada Reuters monitor pasang surutnya tidak dibuat untuk memicu peringatan tsunami dari peristiwa non-seismik.

Kepala Lembaga Penelitian Bencana Internasional Jepang, Fumihiko Imamura, mengatakan kepada Reuters bahwa dia tidak percaya sistem peringatan Jepang saat ini akan mendeteksi tsunami seperti yang terjadi di Selat Sunda.

"Kami masih memiliki beberapa risiko ini di Jepang karena ada 111 gunung berapi aktif dan kapasitas rendah untuk memantau letusan yang menghasilkan tsunami," katanya di Jakarta.

Para ilmuwan telah lama menandai keruntuhan Anak Krakatau, sekitar 155 km barat Ibu Kota, Jakarta, sebagai keprihatinan. Sebuah studi 2012 lalu yang diterbitkan oleh Geological Society of London menganggapnya sebagai "bahaya tsunami."

Anak Krakatau telah muncul dari gunung berapi Krakatau, yang pada tahun 1883 meletus dalam salah satu ledakan terbesar dalam sejarah. Lebih dari 36.000 orang tewas dalam serangkaian tsunami dan abunya menurunkan suhu permukaan global sebesar satu derajat Celcius.

Beberapa ahli percaya bahwa ada cukup waktu untuk setidaknya mendeteksi parsial atas tsunami minggu lalu dalam 24 menit yang dibutuhkan gelombang pertama menghantam daratan setelah tanah longsor di Gunung Anak Krakatau.

 

KOMENTAR