Dirut KCN Harap MA Lihat Fakta Lapangan Terkait Sengketa dengan KBN

Sifi Masdi

Wednesday, 03-07-2019 | 22:14 pm

MDN
Ilustrasi Kawasan Berikat Nasional [ist]

Jakarta, Inako

Direktur Utama PT Karya Citra Nusantara (KCN), Widodo Setiadi mengatakan persoalan hukum yang membelit perusahaannya dengan PT Kawasan Berikat Nasional (BKN) masih bergulir di tingkat Mahkamah Agung (MA).

"Dua minggu lalu, memori kasasi dikirim oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Tentu kami berharap majelis hakim dapat melihat secara objektif fakta hukum dan fakta lapangan yang ada," ujarnya kepada wartawan, Rabu (3/7).

Sebagai informasi, PT KCN digugat PN Jakarta Utara oleh PT KBN yang juga anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atas polemik pembangunan proyek Pelabuhan Marunda pada 2013.

Sejak PT KCN memenangkan tender pembangunan Pelabuhan Marunda pada 2004, BUMN menunjuk PT KBN yang bergerak di bidang logistik area untuk melakukan visibility study dibantu oleh Universitas Gadjah Mada (UGM). Lantas konsep pembangunan dilakukan tanpa menggunakan APBD atau APBN sama sekali.

Perjanjian saham dibuat dengan persetujuan pemegang saham PT KBN, yakni BUMN dan Pemda DKI, dengan PT KCN. "Rasionya 85:15, kami pegang 85% saham dan KBN 15%. Tanggung jawabnya, kami mengurus pendanaan dan biaya pembangunan, sementara KBN mengurus perizinan," jelas Widodo.

Namun pada akhir 2012, saat proyek baru berjalan 30%, perusahaan yang dipegang BUMN tersebut meminta agar menjadi pemegang saham mayoritas PT KCN sebesar 50,5% dari yang awalnya 15%.

Hal itu ditolak oleh PT KCN sebab melanggar kesepakatan awal di tahun 2002 - 2004. Atas penolakan tersebut, akses pelabuhan ditutup selama 5 bulan oleh PT KBN dan mereka meminta jasa pengacara negara memediasi permasalahan. Sehingga sampai pada akhir 2012, disepakati kepemilikan saham antara PT KBN dan KCN sebesar 50:50.

"Mereka masih tetap mau bagian 15% sebagai goodwiil. Padahal kepemilikan saham 50:50 saja sudah bermasalah karena tidak ada yang pihak dominan yang mengambil keputusan," lanjut Widodo.

Selanjutnya, kesepakatan bisnis juga mengharuskan kedua perusahaan menyetor Rp 294 miliar. PT KBN meminta mengulur waktu setahun dan terus diperpanjang sampai 15 bulan. "Ternyata dari situ ketahuan kalau BUMN tidak setuju atas pembelian saham ini," lanjutnya.

Proyek yang memakan nilai investasi terbesar saat itu, yakni sekitar 5% dari pendapatan kotor negara, menghadapi polemik lain saat PT KCB melayangkan gugatan ke PT KCN karena dianggap merampas aset negara dan dikonsesikan ke Kementerian Perhubungan.

Dalam gugatan, PT KCN diminta untuk membatalkan konsesi dengan Kemenhub, sita jaminan pelabuhan yang sudah terbentuk pier 1,2,3, menghentikan operasional dan pembangunan pelabuhan, dan ganti rugi Rp 56,8 triliun.

"Semua gugatan bertolak belakang dengan rekomendasi dari Kemenhub, Setneg, Pokja 4, sampai Polhukam yang menyuruh melanjutkan pembangunan. Kami banding, namun kalah dan membayar Rp 773 miliar yang ditanggung renteng bersama Kemenhub," lanjutnya.

Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Pandjaitan bahkan menyampaikan hendak mempertemukan pihak PT KCN dan PT KCB untuk mencari jalan keluar dan terus melanjutkan pembangunan. Namun Widodo mengaku pihaknya belum tahu kapan dan dimana.

"Beliau melihat masalah ini sudah sangat lama. Namun mau bagaimana, semua sulit karena PT KBN maupun BUMN tidak pernah datang saat diundang instansi dan regulator," kata Widodo.

Dirinya berkata sepanjang polemik berlangsung, pihaknya kehilangan momen bisnis yang banyak, mulai dari kenaikan kurs mata uang, kenaikan harga UMP, hingga lapangan pekerjaan yang bisa dibuka.

"Saat ini kami selain terus meyakinkan klien kami, kami juga terus meyakini rekomendasi Pokja 4 untuk melanjutkan pembangunan, di sisi lain mendapat kepastian hukum yang adil atas investasi kami," pungkas Widodo.


 

KOMENTAR