Diskusi Publik ISHI & Ombudsman RI : RUU Pertanahan Bermasalah Memberi Hak Kepemilikan Tanah, Kepada Asing

Hila Bame

Tuesday, 10-09-2019 | 09:41 am

MDN
Ketua Ombudsman Republik Indonesia, Prof Amzulian Rifai, pada Diskusi Publik RUU Pertanahan yang digagas  Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI)  dan Ombudsman RI, Senin(9/9/2019) foto; Inakoran.com/InaTV

 

Jakarta, Inako

Ketua Ombudsman Republik Indonesia, Prof Amzulian Rifai, menyampaikan kepada media terkait RUU Pertanahan dan pemindahan ibukota negara menyatakan; Untuk kemajuan rakyat Indonesia pastilah kita mendukung.

 

Simak juga video berikut

 

"Dan kaitannya dengan RUU Pertanahan, Pemerintah dan DPR-RI perlu menyerap sebanyak-banyaknya masukan masyarakat dan LSM untuk memperkuat produk UU tersebut. Ibu kota pindah bukan untuk satu atau dua tahun kedepan melainkan selama-lamanya"  pungkasnya. 

"Karena itu Ombudsman RI mendorong pemerintah dan Panja DPR benar-benar memperhatikan kwalitas UU tersebut, segalanya harus dikerjakan dengan cepat namun, faktor yuridis menjadi sangat penting dari RUU dan perpindahan itu", ujarnya pada diskusi publik bertajuk; Pro-Kontra RUU Pertanahan dan Implikasinya dengan Pemindahan Ibukota, di Gedung Pertemuan Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin(9/9/201).

 

Dewi Sartika, Sekjend Konsorsium Pembaruan Agraria, yang tampil sebagai pemakalah  ke-3 mengungkapkan berbagai masalah terkait RUU pertanahan, pertama

"Rancangan Undang-Undang Pertanahan bermasalah, RUU ini memberi hak kepada asing sementara di UU Pokok Agraria, Asing itu hanya diberi hak sewa dan hak pakai, sementara di RUU pertanahan ia (RUU Pertanahan)  memberi jenis hak baru "Hak Milik Rumah Susun"  baik perorangan maupun korporasi"  tegas Dewi Sartika, Sekjend Konsorsium Pembaruan Agraria, ketika tampil sebagai sala satu  pemakalah.


Dewi Sartika, Sekjend Konsorsium Pembaruan Agraria pada Diskusi Publik RUU Pertanahan yang digagas  Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI)  dan Ombudsman RI, Senin(9/9/2019) foto; Inakoran.com/InaTV.
 

Masalah kedua, yang disoroti Dewi adalah terkait adanya Bank Tanah atau pengelolaan tanah  yang dilakukan pemerintah.  " Menurut kami, Bank tanah itu justru menjadi semacam spekulan tanah versi pemerintah".ujarnya.

"Dia (Bank Tanah) begitu mengusai sumber tanah negara, bayangkan konflik-konflik agraria yang struktural itu apabila ini dijalankan, semua tanah dianggap tanah negara padahal sudah ada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa negara itu hanya mengatur penggunaannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, negara tidak memiliki tanah" terangnya. 

Tetapi lanjut dewi, Bank Tanah bisa mengatur tanah negara atau Hak Penguasaan Lahan (HPL) itu  diterbitkan menjadi Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan seterusnya dan bisa disewakan juga, tambah Dewi, dengan wajah serius. 

Sementara Dr. Aartje Tehupeiory, S.H, M.H, Pakar Hukum Agraria sekaligus Dosen Pascasarjana UKI, menyampaikan bahwa;  Ibu kota dirancang sebagai representasi kemajuan bangsa dengan pembangunan infrastruktur (pertanian, perikanan, perkebunan, industri) tentu hal ini mempunyai implikasi dengan RUU Pertanahan.

Dr. Aartje Tehupeiory, S.H, M.H, (tiga dari kanan) berbincang dengan Ketua Ombudsman RI Prof. Amzulian Rifai (5 dari kanan) usai diskusi foto inakoran.com/InaTV

 

Isu Krusial RUU Pertanahan, lanjut  Alumni S3 UI itu, adalah "terkait kewenangan atas ruang dan kawasan tidak diberikan definesinya, dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bagaimana dengan Pemerintah Desa dan Masyarakat Hukum Adat (belum mengakomodasi kepentingan masyarakat yang harusnya dijangkau (mengatur tanah, perairan, hutan Sumber Daya Alam(SDA/objek Hak Ulayat" ujarnya.

"Berbagai Perda atau SK Kepala daerah yang sudah terbit pada umumnya belum dilengkapi pemetaan wilayah hak Ulayat. Pemegang Hak yang menguasai dan memiliki tanah  melebihi batas maksimum  dan penyerahan pajak progresif . Lama kelaman bisa tanah negara tidak ada lagi dan diganti dengan Hak Penguasaan Lahan (HPL)" pungkasnya. 

 

Di akhir paparannya ia,  memberi solusi kepada  DPR dan Pemerintah agar mematuhi asas atau prinsip-prinsip yang mendasari  UUPA (Landasan Hukum Penguasaan Tanah/Penjelasan Umum II.2 UUPA)

Prisip-prinsip Pembaharuan Agraria dan PSDA dalam ketetapan MPR RI No IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) dan memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi yang relevan sebagai suatu norma baru dalam rumusan perturan perundang-undangan, tegas Aartje.

Wakil pemerintah hadir sebagai pemakalah  Kepala Biro hukum Kementerian Agraria dan Tata  Ruang (ATR) RI, Dr. Aslan Noor, menyampaikan "Pemerintah dan DPR dalam menyusun RUU Pertanahan tentu  memayungi regulasi sektoral dan,  dalam pelaksanaannya juga melibatkan beberapa kementerian misalnya Kemenhum&Ham, Kementerian ESDM, Kementerian Linkungan Hidup dan Kementerian Kelautan.

Kami tentu  membuka ruang keterlibatan/partisipasi masyarakat semacam sumbangan pemikiran dari seluruh proses RUU tersebut" tegas Aslan.


Dr. Aslan Noor,(paling kanan) pemakalah wakil KementerianATR pada Diskusi Publik RUU Pertanahan yang digagas  Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI)  dan Ombudsman RI, Senin(9/9/2019) foto; Inakoran.com/InaTV
 

 

Lebih lanjut dikatakannya, ketimpangan kepemilikan tanah sejak  era 60-an yang belum teratasi, dan lahirlah perpres Tahun 86, tetapi dinilai belum cukup kuat. Dan permasalahan pertanahan makin hari makin kompleks, karena itulah muncul kesadadaran akan pentingnya UU pertanahan yang kuat yang bisa memayungi semua permasalahan tanah di negara ini, tambahnya.

Kami dari pemerintah,  justru membuka ruang konsultasi seluas-luasnya kepada masyarakat umum dan  LSM untuk memberikan masukan dalam rangka menyempurnakan UU Agraria yang sedang digarap Panja DPRI saat ini pungkasnya.  

 

TAG#ISHI

198744326

KOMENTAR