Dolar AS Tak Lagi Jadi Safe Haven?

Jakarta, Inako
Pasar keuangan Indonesia menutup perdagangan kemarin dengan mengecewakan. Meski demikian, ada yang patut disyukuri dari pergerakan pasar keuangan dalam negeri kemarin.
Mengawali hari dengan pelemahan 0,5% dan sempat anjlok 1,04%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru hanya ditutup melemah 0,46%. Performa IHSG senada dengan bursa saham utama Asia yang juga melemah. Indeks Nikkei 225 anjlok 2,84%, Shanghai Composite turun 0,52%, Hang Seng terkoreksi 0,94%, Strait Times minus 0,26%, dan Kospi berkurang 0,9%.
Sementara itu, nilai tukar rupiah melemah 0,21% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot. Meski berakhir melemah, dan seharian nongkrong di zona merah, sebenarnya depresiasi rupiah turun lumayan drastis. Sebelumnya, rupiah sempat melemah di kisaran 0,5%.
Dengan pelemahan depresiasi 0,21%, rupiah jadi mata uang terlemah di Benua Kuning. Dalam hal melemah di hadapan dolar AS, tidak ada yang separah rupiah.
Pelaku pasar dibuat gamang oleh keputusan The Federal Reserve/The Fed yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke ke 2,25-2,5% atau median 2,375%. Kenaikan suku bunga acuan lantas menjadi energi positif bagi dolar AS, setidaknya dalam jangka pendek.
Sebagai tambahan, The Fed juga memperkirakan ada perlambatan ekonomi di Negeri Paman Sam. Untuk tahun ini, ekonomi AS diperkirakan tumbuh 3% dan tahun depan melambat ke 2,3%.
AS adalah perekonomian nomor 1 dunia. Kala ekonomi AS melambat, maka dampaknya akan meluas ke seluruh negara dan menjadi perlambatan ekonomi global. Potensi perlambatan ekonomi global membuat pelaku pasar ketar-ketir dan memilih bermain aman. Arus modal pun memihak ke dolar AS yang berstatus sebagai safe haven (yang kemudian patut dipertanyakan), apalagi ada energi dari kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam.
Meski demikian, peruntungan pasar keuangan Asia justru membaik selepas tengah hari. Dolar AS kehabisan bensin karena meski The Fed menaikkan suku bunga, tetapi investor ternyata lebih melihat ke depan (forward looking).
Dalam rapat kemarin, The Fed menurunkan target suku bunga acuan pada akhir 2019 dari awalnya di median 3,1% menjadi 2,8%. Artinya, suku bunga acuan kemungkinan naik setidaknya dua kali tahun depan, lebih sedikit dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.
Oleh karena itu, sepertinya dolar AS tidak akan sesangar tahun ini. Sejak awal tahun ini, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang dunia) menguat 5,27%. Keperkasaan dolar AS ditopang oleh kenaikan suku bunga acuan yang mencapai 100 bps.
Saat laju kenaikan suku bunga acuan berkurang setengahnya dari empat kali menjadi dua kali, maka dampaknya terhadap dolar AS kemungkinan akan signifikan. Kejayaan dolar AS akan sulit terulang tahun depan. Pelaku pasar pun akhirnya memilih melepas dolar AS.
TAG#Amerika Serikat, #Dolar AS, #Mata Uang
190215746
KOMENTAR