Dominasi Seduksi Politik

Hila Bame

Monday, 03-05-2021 | 11:24 am

MDN

 


Oleh: Deo Teguh Nugraha (Ketua DPD BMI Kalimantan Selatan)

 

JAKARTA, INAKORAN

 

Politik Indonesia, sejak reformasi sebagian besar dipenuhi warna-warni lipstik, bedak dan parfum untuk membangkitkan gairah dan selera politik (meminjam istilah Yasraf Amir Piliang).

Tim sukses mengatur strategi, ahli komunikasi merancang slogan-slogan partai dan kandidatnya, elit politk sibuk menata penampilan, memoles wajah, mendesain pakaian, mengatur cara berbicara, sampai pada penggunaa simbol-simbol agama.

Namun, dibalik dandanan menor, pakaian glamor, permainan tanda, ada substansi politik yang terlupakan yaitu politik ideologi.


BACA:   Info Rupiah Hari Ini, 3 Mei 2021

IKI Bagi Sembako Kepada Pemulung di Rawalumbu Bekasi

 


Jantung politik bergeser dari ideologi untuk mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan menjadi politik citra yang dibungkus dalam politaiment, sekedar politik yang riuh gegap gempita yang dipoles dengan kosmetik dan memanipulasi penampilan  untuk menutupi ketidakmampuan.

Inilah politik citra yang bekerja dengan cara seduksi (penampakan luar) dengan menata dan memoles penampilan untuk menghasilkan citra diri ideal.

 

Ketika politik ideologi yaitu politik ide dan gagasan diambil alih politik citra (penampilan, bahasa tubuh, dan permainan tanda) yang kemudian dijadikan political power, untuk menutupi kekuatan substansial (kapabilitas, kepemimpinan, dan kharisma) maka satu kaki politik ideologi telah terpotong.

Seduksi dalam Politik

Strategi manipulasi penampakan luar, seperti berpose dan seakan-akan berbicara dengan petani di sawah, pasar, kampung kumuh, mengunjungi panti sosial, pesantren dan lain-lain; penguasaan intonasi, artikulasi, penyelarasan lisan dan bahasa tubuh, pemilihan figur dan subyek-subyek pemberi testimoni (petani, pedagang, nelayan, tukang becak dan lain-lain) adalah bagian dari kosmetik politik masa kini.

Kosmetik sudah menjadi logika politik masa kini. Kondisi dimana paradigma politik mengikuti esensi kosmetik yaitu politik yang direduksi menjadi politik penampilan luar (citra).
 

 

Seduksi adalah strategi dalam meyakinkan rakyat melalui penampakan artificial bukan alamiah. Ia adalah strategi penampakan luar yang bertumpu pada kekuatan polesan dan artifisialitas.

Inilah yang dikatakan oleh Filsuf Prancis yang juga teoritikus kebudayaan Jean Baudrillard (1990) sebagai tanda tanmpa rujukan, tanda yang tercabut dari realitas, sebuah penanda kosong yang tujuannya adalah mengelabui.

 

Seduksi politik bekerja dengan mengkomnbinasikan psikologi politik, komunikasi politik, dan semiotika politik; mengerahkan permainan tanda permukaan dan artifisial untuk meyakinkan, membangun persepsi, mengubah sikap dan mengarahkan preferensi politik. Karena dibangun dengan cara artifisial, kebenaran yang disampaika juga kebenaran semu.

Dalam politik seduksi berbagai ingatan kolektif, simbol kearifan lokal, tempat bersejarah, dan lain-lain dikerahkan untuk membentuk tanda, untuk membangun citra diri.

Melalui seduksi, politikus melukiskan dirinya sebagai pemurni pancasila, dewa penyelamat wong cilik, penjaga kearifan lokal bahkan agama dibawa-bawa dalam bentuknya yang sinkritisme.

 

Seduksi politik adalah antithesis politik ideologi. Politik ideologi adalah politik pemanggilan individu menjadi subyek yang merasa dirinya bagian dari ide, gagasan, konsep, atau ideologi politik (Louis Althusser, 1976).

Celakanya ruang politik dengan cara kerja seduksi didukung berbagai kekuatan: taipan media, akademisi/intelektual, praktisi, LSM, bahkan tokoh agama; yang menggiring publik pada pengaburan realitas politik: antara realitas dan kepalsuan, kebenaran dan kezaliman.

 

Dimanakah Rakyat

Ditengah glamornya politik citra, dimanakah rakyat (demos)?. Rakyat sering disebut oleh elite politik diberbagai pidato, talk show dan iklan politik. Namun, apakah sebutan dan nama merupakan jaminan terhadap eksistensi mereka?

Bukankah kini rakyat adalah sebuah nama tanmpa eksistensi? Politik adalah pertarungan menciptakan ide, gagasan dan program.

Ketika politik menjelma menjadi politik seduksi, maka rakyat justru dijadikan alat legitimasi, dan media testimoni bagi citra kekuasaan para elite tersebut.

Logika demokrasi dimana segala tindak tanduk aktor-aktor politik untuk rakyat kini dibalik menjadi segala bentuk penyebutan dan pengerahan rakyat demi elit politik. Rakyat direduksi sebagai bahan baku politik citra.

 

Seduksi politik adalah pembingkaian rakyat sebagai subyek, dengan member nama, alamat, dan kedudukan dalam wacana tanmpa ada realisasinya dikehidupan nyata.

Dengan kata lain, dalam politik yang dimainkan dengan cara-cara seduksi, rakyat disebut tapi tidak memiliki eksistensi, dihitung tapi tidak ada harganya.

Demokrasi yang dibangun diatas cara kerja politik demikian, hanya menempatkan rakyat pada posisi terbalik. Demokrasi sebagai kekuasaan ditangan rakyat kini bekerja sebaliknya kekuasaan memanfatkan rakyat.

Konsep demos menjelma menjadi mitos karena eksistensi rakyat hanya dalam teks book tapi kekuasaannya telah dilucuti.

 

Dimasa depan akan dibuktikan, apakah politik seduksi/pencitraan berupa eksploitasi dan manipulasi penampakan luar, tanda dan citra masih efektif untuk menarik pemilih, khususnya kaum muda atau jangan-jangan gairah politik rakyat hanya dapat dibangkitkan melalui politik ideologi-politik realitas yaitu cara kerja politik yang menyertakan rakyat sebagai bagian realitas harian, untuk memanifestasikan konsep kekuasaan rakyat secara konkrit.

 

Akhirnya semua pihak terutama partai politik harus menyadari bahwa demokrasi adalah sesuatu yang in making.

Ia bukanlah sesuatu yang begitu saja datang.

Demokrasi memerlukan komitmen segenap elemen, terutama partai politik.
Oleh karena itu, bila prosesnya terasa lambat dan juga tak membawa perubahan yang positif didalam kehidupan bernegara, bukan berarti lebih baik memilih untuk kembali kemasa silam yang kelam.

 

Untuk itu, partai politik harus berbenah. Rekrutmen dan kaderisasi harus berjalan secara berkelanjutan, jangan ada lagi karbitan. Hilangkan cara-cara feodal dalam pengelolaan partai, selenggarakan arena-arena pendidikan dan pelatihan politik dengan cara-cara pembelajaran yang dialogis-inklusif, dan sebagainya.

Dari semua itu, yang tak kalah lebih pentingnya adalah kepemimpinan politik yang kuat dan demokratis mutlak diperlukan guna mengubah keadaan politik yang semakin semrawut.

Hanya dengan kepemimpinan yang kuat, demokratis dan berpihak pada rakyat yang akan menjadi fondasi bagi peradaban politik madani dimasa-masa mendatang.

 

KOMENTAR