Dr. Agus Surono S.H. M.H. : Pejabat Publik Mesti Beri Contoh

Hila Bame

Sunday, 26-08-2018 | 18:39 pm

MDN

 Jakarta, Inako

Menurut wakil Pimpinan  Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) Basaria Panjaitan, mantan menteri Idrus dan mantan nggota DPRI Eni Saragih, diduga  akan mendapat jatah (komisi)   proyek, total tiga juta USD,  masing - masing dijatah 1, 5 USD atau  jika dikalikan dengan kurs Rp 14.300 setara dengan RP 42 miliar.  

Tangan Eni Saragih, lebih awal  dibelenggu (OTT)  KPK pada saat menerima uang dari Dirut Black Gold  Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK) total RP 4 miliar ( sistim bayar mutilasi)  dari RP 42 miliar yang di akad. 

Cicilan komisi, mulai  dibayarkan dan proyekpun belum dimulai, baru sebatas bicara dan proyek tersebut baru sebatas penandatangan Letter of Intent (LoI).

Angka standar korupsi, tidak membuat publik terperanjat jika, disandingkan dengan dugaan uang gratifikasi yang ditimbun gubernur tidak aktif provinsi Jambi. Oleh KPK,   Zumi Zola diduga  menimbun gratifikasi  sekitar  RP 40 miliar. 

Enni Saragih, Idrus Marham, Setya Novanto demikian Zumi Zola idem dalam status sosial, sebagai pejabat publik. Tanpa alpa hari-hari publik, dipukau penampakkan mereka ?

Mantan Mesos Idrus Marham, memperlihatkan surat undur diri dari Kabinet Presiden Jokowi (ist)

 

Dr. Agus Surono S.H, MA, Wakil Rektor 1,  Universitas  Al Azhar Indonesia (UAI) mengatakan bahwa;  kasus dugaan korupsi terkait tersangka Idrus Marham,  dalam dugaan tindak pidana suap proyek PLTU Riau 1,  merupakan, wewenang KPK karena ada kaitannya dengan tersangka sebelumnya yang terkena operasi tangkap tangan, ujarnya kepada Inakoran.com Minggu, (26/8/2018). 
 

Penampakkan Enni Saragih di KPK (ist)

 

KPK dalam menetapkan status Idrus Marham, lanjut Agus, sebagai tersangka didasarkan atas alat bukti yang cukup,  yaitu sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana,  dimana harus ada minimal dua alat bukti.
 

Kasus suap dalam proyek tersebut,  melibatkan beberapa pelaku yang terlibat yaitu pengusaha, mantan anggota DPR,  dan juga IM.

Dalam kasus tersebut yang melibatkan beberapa orang,  dikenal sebagai penyertaan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 KUHP,  yang diskualifikasi sebagai pelaku tindak pidana.

Dalam tindak pidana korupsi,  suap,  biasanya dilakukan oleh pemberi suap dan penerima suap, baik langsung maupun tidak langsung menerima pemberian tersebut untuk mendapatkan proyek PLTU atau untuk menjanjikan sesuatu agar mendapatkan proyek tersebut.

Kasus yang disangkakan kepada IM,  dalam perspektif budaya anti korupsi merupakan suatu hal yang "memprihatinkan", terang Agus.  

Hal ini disebabkan "pejabat publik, semestinya harus memberikan contoh" yang baik kepada masyarakat untuk menghindari perilaku koruptif.

Oleh karena itu menurut pandangan saya,  "apa yang telah dilakukan oleh KPK dengan menetapkan perubahan status saudara IM,  merupakan hal yang sudah tepat,  selama dilakukan secara prudent dan didasarkan pada minimal dua alat bukti yang cukup" pungkas Agus. 

KOMENTAR