Dr. Agus Surono,S.H., M.H. : Hendri Yuzal Stafsus Gubernur Aceh Pantaskah Menjadi Saksi Mahkota?

Jakarta, Inako
Wacana pengacara Razman Arif Nasution, untuk menjadikan kliennya Hendri Yuzal sebagai justice collaborator (pelapor tersangka) masih dalam cermatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan setiap terduga perkara korupsi memiliki hak untuk mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC).
Hendri Yuzal adalah staf khusus Gubernur Aceh dan, salah satu dari sepuluh orang yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, termasuk Gubernur Irwandi Yusuf sendiri yang ikut diciduk di negeri Serambi Mekkah (Aceh) Selasa, (3/7/2018).
Menurut Dr. Agus Surono,S.H., M.H. Ahli Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta, JC atau pelapor tersangka adalah saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama, terang Agus menjawab Inakoran.com Jumat, (6/7/2018)
Dalam praktek hukum pidana terang Agus Surono, sering disebut “ saksi mahkota” atau saksi kolaborator. Ketentuan mengenai JC diatur dalam pasal 10 ayat (2) UU No 13 tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal tersebut berbunyi: “ Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana, apabila ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.
UU No 13 tahun 2006, tersebut tidak memberikan panduan kapan seseorang dapat dikualifikasi sebagai juctice collaborator, pungkas Agus. Oleh karenanya MA menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung atau SEMA No 4 tahun 2011, dimana JC sebagai salah satu pelaku tindak pidana tertentu, bukan pelaku utama kejahatan, yang mengaku telah melakukan kejahatan, serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan.
Acuan SEMA, tambah Agus, adalah Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi tahun 2003. Dalam ayat (2) pasal tersebut berbunyi: Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan dalam kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansi dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.
Dalam kasus Gubernur Irwandi cs tersangka mempunyai hak untuk mengajukan sebagai JC. Sedangkan kewenangan untuk diterima permohonan JC ada pada KPK dengan acuan SEMA tersebut di atas dan juga peraturan internal KPK.
Apabila permohonan JC tersebut dikabulkan KPK maka hal itu akan dijadikan alasan peringan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi tersebut yang merupakan bentuk tindak pidana korupsi berupa menerima gratifikasi.
Dengan kalimat lain, dikabulkannya permohonan JC tersebut “bukan” menjadi alasan untuk menggugurkan hak penuntutan oleh KPK atau membebaskan tersangka / terdakwa dalam perkara tidak pidana yang telah dilakukan, demikian Agus menutup penjelasannya.
TAG#Agus Surono
190215425
KOMENTAR