Emil Salim Kritik Wacana Pemindahan Ibu Kota

Jakarta, Inako
Mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup era Presiden Soeharto, Emil Salim beberapa waktu terakhir menjadi sorotan karena mengkritik rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan. Rencana ini telah disampaikan secara resmi Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam pidato kenegaraan di Gedung DPR, 16 Agustus 2019.
“Kalau ada pendapat, bukan berarti menghantam,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini dalam diskusi publik bersama Institute for Development of Economic and Finance atau Indef di ITS Tower, Jakarta Selatan, Jumat (23/8/2019).
Sederet alasan menjadi dasar bagi Emil menolak pemindahan ini. Pertama, Emil menilai alasan pemindahan ibu kota karena Jakarta sudah rusak tidak bisa dibenarkan. Pemerintah harusnya menyelesaikan persoalan di Jakarta, bukan lari dari persoalan.
Kedua, Emil menilai ada banyak persoalan fundamental yang lebih baik menjadi prioritas pemerintah. Salah satunya karena Indonesia tengah berada dalam situasi bonus demografi. “Ini hanya sekali seumur hidup, lebih baik manfaatkan ini,” kata dia.
Lalu mengapa Emil begitu ngotot menolak rencana Jokowi ini? Emil mulai bercerita di hadapan peserta acara. Di zaman Orde Baru, kata dia, Soeharto pernah berkomitmen di dalam sidang DPR bahwa pemerintahannya tak akan pernah melakukan devaluasi rupiah. Saat itu, semua orang tepuk tangan. Tapi di saat yang bersamaan, devisa negara sedang menciut, nilai tukar rupiah tidak realistis dan harus dilakukan devaluasi.
Namun saat itu, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan tidak mengambil kebijakan itu. “Mereka bilang jangan, karena presiden bilang jangan,” kata Emil menirukan percakapan kala itu.
Saat itulah, para ekonomi berkumpul membahas keadaan ekonomi bangsa. Satu pertanyaan yang diangkat saat itu adalah mengenai kebijakan devaluasi rupiah ini.
“Kalau karena janji presiden, rupiah terus merosot, ekonomi negara makin rusak, apakah otak sehat ilmu ekonomi tidak layak untuk bicara dan membantu presiden mengoreksinya?” kenang Emil.
Maka saat itu, bertemulah para ekonom dan pejabat bidang keuangan dengan Soeharto. Mereka mengajukan dua opsi. Pertama, tidak ada devaluasi dan rupiah akan turun. Kedua, dilakukan devaluasi dan kemungkinan ekspor meningkat dan rupiah membaik.
Lantas, kata Emil, Soeharto pun bertanya, “Lah, kenapa dibiarkan rupiah merosot?”. Peserta yang hadir pun menjawab, “Kan bapak sendiri yang menjanjikan di sidang DPR.”
Mendengar jawaban itu, Soeharto pun mengatakan lebih baik ucapannya ditarik kalau memang keliru. Walhasil, Soeharto kemudian mencabut aturan yang melarang dilakukannya devaluasi. Devaluasi kemudian dilakukan, rupiah menguat, dan ekonom pun selamat. Namun, Emil tidak menjelaskan tahun kejadian ini. Sebab, pemerintah Soeharto tercatat melakukan beberapa kali devaluasi rupiah.
Terkadang, kata Emil Salim, presiden memang bisa memiliki penilaian yang keliru. Nah, menjadi kewajiban bagi orang-orang yang mengerti untuk mengoreksi kekeliruan ini. Menurut dia, berbagai alasan pemindahan dalam kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memiliki banyak kekeliruan. Sehingga, Ia merasa perlu untuk mengingatkan Jokowi.
Somak juga video berikut jangan lupa "kli and Subscribe and Like" agar selalu terhubung dengan info menarik lainnya.
TAG#Ibu Kota Negara, #Kalimantan, #Emil Salim
190233147
KOMENTAR