Fakta Ungkap Peran Nahdlatul Ulama dalam Perjuangan Rakyat Surabaya dan sekitarnya Melawan Sekutu Sebelum dan Pada 10 November 1945

Hila Bame

Sunday, 08-11-2020 | 02:39 am

MDN

 

Jasmerah: Jangan sekali-kali melupakan sejarah:  Soekarno Presiden Pertama RI 1945-1965

" Kebinekaragaman Indonesia bukan sebuah kebetulan, tetapi sebagai takdir dari sebuah bangsa yang kini dinamai Negara Kesatuan Republik Indonesia"

 

Jakarta, Inako

 

Diskursus NKRI tanpa mengaitkan Pluralisme NU yang menjadi tandemnya adalah menegasikan arus besar dari sebuah patron politik digdaya pada sebuah era, cikal bakal bangsa Indonesia yang inklusi, menuju masyarakat adil sejahtera bagi seluruhnya dan, bukan sebagian.

Demikian perang 10 November 1945 di Kota Surabaya, hanya pecahan gunung es dan jauh sebelum perang berkecamuk, para negarawan dari organisasi NU telah merasakan ancaman Belanda lewat propaganda untuk menaklukan  kembali NKRI pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Jauh sebelum perang 10 November instabililtas politik sengaja dicetuskan Belanda lewat propaganda bahwa Inggris akan menyerang Kota Surabaya, ujar KH Dr. Agus Sunyoto  (Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU.

Sebelum perang 10 November 1945,  telah terjadi pertempuran hebat  pada kurun 26 hingga 29 Oktober 1945 dan pada 11 September pada tahun yang sama untuk pertama kalinya Pendiri NU K.H. Hasyim Asy'ari  mengeluarkan Fatwa Jihad untuk membela negara, catatan sejarah ini terungkap pada webinar yang diselenggarakan Ikatan Sarjana Nahdatul Ulama (ISNU) DKI Jakarta, Sabtu (7/11/2020).

 

Fatwa Jihad NU untuk membela Negara bukan membela Agama

Lebih lanjut dijelaskan KH Dr. Agus Sunyoto bahwa; jihad yang dikeluarkan NU ketika itu jelas bukan untuk membela agama tetapi membela Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman Belanda. 

Karena itu, lanjut Sunyoto, yang terlibat saat itu bukan hanya kaum muslimin Kota Surabaya tetapi semua elemen masyarakat surabaya dari berbagai latar belakang etnis, agama yang berbeda-beda.

Paparan dari KH Dr. Agus Sunyoto dibenarkan oleh Prof. Dr. Asvi Warman Adam  (Sejarawan Senior LIPI) bahkan Prof Asvi menggelar siapa saja yang berperan ketika pertempuran terjadi.

Meski Prof Asvi, mengais ilmu di negeri Macron, sebuah negara telah menjadi subyek omong warga dunia dari warung kopi hingga cafe tak bernama, menyerukan boikot produk, dampak kemunduran daya serap untuk sebuah lidah api seorang Macron, beruntunglah Prof Asvi Warman Adam lancar bicara tentang sejarah Indonesia, tentu, ilmu Prof. Asvi luput dari seruan boikot.

Tokoh yang berperan saat perang 10 November 1945
Sumber: Prof . Asvi Warman Adam, Sejarawan Senior LIPI

 

Bung Tomo, menurut Prof. Asvi, bukan satu-satunya tokoh ketika itu. Tidak mengecilkan peran Bung Tomo tetapi,  tanpa dukungan kuat dari arus besar Nahdlatul Ulama dan elemen masyarakat lainnya,  perjuangan itu bisa sunyi dari kaca mata dunia.

Kerapatan aksi mencintai tanah air untuk  terbebas dari segala belenggu penjajahan menjadikan pertempuran 10 November 1945 menggetarkan manusia di pelosok bumi khususnya Kantor Berita Antara,  tiada henti berkisah tentang heroik sebuah bangsa tatkala warga Kota Surabaya memukul mundur penjajah  agar tak kembali. 

Dibalik Bung Tomo jelas Asvi, Fatwa Jihad Nahdlatul Ulama telah membangkitkan semangat para santri di seantero Pulau Jawa dan hal ini terlihat ketika pertempuran terjadi para santri dari Cirebon, Banten, Jawa Tengah dan para santri Jawa Timur  bersatu melawan tentara sekutu.

Selain Bung Tomo dan Fatwa Jihad NU ada juga gubernur Suryo dan Moehamad Jasin (Polisi Istimewa).

 Jasin, jelas Asvi adalah Kepala Kepolisian Jawa Timur saat itu mendukung gerakan. 

Soemarsono Penganut Kristen atau Nasrani pada 10 November 1945

Perjuangan bangsa ini terang Asvi bukan hanya oleh kaum tertentu tetapi muncul Soemarsono yang beragama nasrani ketika pertempuran 10 November 1945 membara. Demikian juga warga Tionghoa Surabaya bahu membahu membantu serangan.

Artinya kebersamaan dan rasa persatuan telah tumbuh sejak dahulu kala. Bahwa peran NU dalam mengantar bangsa Indonesia hingga hari ini nyata ada, sejarah mencatatnya.

Karena itu Prof Asvi Warman Adam menyarankan PBNU menyurati menteri Pendidikan agar pendidikan sejarah terkait Peran NU dalam membangun  NKRI harus masuk dalam kurikulum sekolah.

Hal ini penting agar milenial sebagai penerus bangsa ini memahami perjalanan sejarah bangsa dan peran dari setiap elemen masyarakat guna menghindari dominasi hoax mengeleminir peran sebagian warga bangsa.

Yang menarik dijelaskan juga oleh KH Dr. Agus Sunyoto  tentang tandem NU pada pilihan keberagaman Indonesia. Sebelum negara Indonesia lahir di Nusantara ini telah ada negara yaitu Kerajaan Majapahit.

Masyarakat perlu tahu bahwa pada zaman Kerjaan Majapahit Menteri Agama ada empat, jelas Sunyoto. Keempat menteri Agama tentunya representasi  terdapat lebih dari satu agama tumbuh di Nusantara.

Diskusi virtual digelar Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama DKI Jakarta dalam rangka menyambut Hari Santri dan Hari Pahlawan Nasional, 10 November 2020. 

Diskusi membuka  fakta-fakta penting peran NU melawan Sekutu sebelum dan, ketika perang 10 November 1945. 

Seminar menghadirkan narasumber KH Dr. Agus Sunyoto  (Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU dan penulis buku "Fatwa Resolusi Jihad, Sejarah Perjuangan Rakyat Semesta di Surabaya, 10 November 1945").

Selain itu hadir juga Prof. Dr. Asvi Warman Adam  (Sejarawan Senior LIPI) dan pembicara kunci Dr. H. Helmy Faishal Zaini  (Sekretaris Jenderal Pengurus Besar NU) di Jakarta, Sabtu (7/11/2020)

Diskusi dipandu moderator Tjoki Aprianda Siregar, tokoh NU penulis kebangsaan dan pemerhati pendidikan nasional. 

 

TAG#NU, #ISNU DKI, #TJOKI

190216118

KOMENTAR