Faktor Cak Imin dan Dukungan Golkar serta PAN Terhadap Prabowo

Hila Bame

Monday, 14-08-2023 | 08:48 am

MDN



Oleh : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN

H.Abdul Muhaimin Iskandar,, ketua umum PKB - biasa disapa akrab "Gus Muhaimin" atau "Cak Imin" - adalah "trendsetter", faktor penentu kecenderungan makin berlimpahnya dukungan politik terhadap Prabowo maju sebagai capres dalam kontestasi pilpres 2024.


Hari Minggu (13 Agustus 2023)  partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) resmi menyatakan bergabung dalam koalisi mengusung Prabowo mengikuti jejak Cak Imin yang telah terlebih dahulu melabuhkan dukungan PKB terhadap Prabowo.


Dalam perspektif kaidah "fiqih politik" disebutkan "Al fadlu lil mubtadi wa in ahsanal muqtadi",  penghargaan adalah milik orang yang merintis, memulai dan mempelopori meskioun pengikut berikutnya mungkin lebih "besar" secara kuantitatif.


Maknanya dalam konstruksi koalisi politik di atas meskioun partai Golkar lebih besar jumlah "kursi" dukungannya dari PKB tapi jalan rintisan dukungan ke Prabowo dimulai oleh Cak Imin, "veto player" PKB. Itulah "kekhususan" dan keistimewaan PKB dalam format koalisi "Kebangkitan Indonesia Raya (KIR), partai pengusung capres Prabowo.


Dalam konteks "kekhususan" di atas itulah menurut pandangan penulis piagam kerjasama Gerindra dan PKB salah satu point penentuan cawapres ditentukan oleh Prabowo dan Cak Imin tidak perlu dibongkar ulang untuk menghindari kerumitan baru yang dapat menimbulkan "turbulensi politik" di tubuh koalisi yang tidak produktif - kecuali cukup dimusyawarahkan dengan partai koalisi pengusung lainnya secara elegan dan "pantas".  


Proyeksi koalisi partai Gerindra, PKB, partai  Golkar, PAN dan PBB yang mengusung capres Prabowo di atas harus diletakkan dalam kebutuhan memenangkan pilpres 2024  bukan sekedar membentuk koalisi politik "gemuk". 


Di sini faktor Cak Imin sebagai cawapres dari capres Prabowo selain mandat dari hasil "ijtima' ulama" juga menjadi penting dibaca dari dua variabel politik sebagai berikut :


Pertama, dalam sejarah empat kali pilpres secara langsung di Indonesia PKB menjadi "fakror" penentu kemenangan capres yang diusung dan didukungnya. 


Dua kali sukses mengantarkan SBY terpilih menjadi Presiden dalam pilpres 2004 dan 2009  dan dua kali pula mengantarkan Jokowi terpilih menjadi Presiden dalam pilpres 2014 dan 2019.


Hal ini - maaf - tentu berbeda dengan partai Gerindra, Golkar PAN dan PBB. Keempat partai ini dalam koalisi bersama tanpa faktor PKB pernah mengalami "kekalahan" dalam kontestasi pilpres dari pilihan koalisi politiknya saat bersama sama mengusung capres Prabowo dalam pilpres 2014.


Kedua, dari sisi peta elektoral dalam dua kali pilpres terakhir (2014 & 2019) kekalahan Prabowo karena "defisit" elektoral di dua provinsi besar di pulau Jawa, yakni Jawa Timur dan Jawa Tengah. 


Faktor Cak Imin sebagai ketua umum PKB dari sudut pandang peta kekuatan basis elektoral PKB justru akan mampu memberikan "surplus" elektoral di mana dua provinsi tersebut "kandang bermain" atau "home base" " kekuatan teruji  elektoral PKB.


Dengan kata lain, meletakkan Cak Imin dalam posisi cawapres dari capres Prabowo dalam kerangka dua variabel di atas tidak perlu dipahami "dominasi" kepentingan Cak Imin dan PKB dalam koalisi partai partai pengusung Prabowo tetapi justru sebuah pilihan kebutuhan politik untuk memenangkan kontestasi pilpres 2024.


Bahkan dalam konteks mengukuhkan jangkar politik kebangsaan dan persatuan pasangan Prabowo dan cak Imin, adalah dua figur dalam persenyawaan  nasionalisme religius yang melebur, tidak sekedar berpeluang besar menang dalam kontestasi pilpres 2024.


Lebih dari itu kemenangannya kelak  menjadi jalan lapang untuk mengakhiri sisa "luka luka batin" sesama anak bangsa akibat polarisasi sosial yang tajam effect dari residu pilpres sebelumnya.  


"Maka apalagi yang hendak ditunggu, kawan",  demikian mengutip bait puisi Sho Hok Gie, penyair sekaligus aktivis politik (1966). 

 

 

TAG#ADLAN

198732807

KOMENTAR