Ingin Pensium Bahagia, Belajar dari Denmark

Sifi Masdi

Tuesday, 04-12-2018 | 23:21 pm

MDN
Ilustrasi pensiun bahagia [ist]

Jakarta, Inako

Pernahkah anda mendengar istilah retirement tourism atau wisata pensiunan? Perjalanan wisata ini mungkin adalah liburan paling panjang yang pernah anda bayangkan.

Di liburan ini, wisatawan tidak perlu mengejar pesawat pertama di awal hari kerja, karena tidak lagi masuk kantor. Mereka bisa menikmati banyak negara dalam suatu perjalanan, tanpa terbatas waktu.

Bahkan mereka bisa melakukan perjalanan darat dengan kendaraan pribadi, menikmati waktu berminggu-minggu, di jalan dan melewati berbagai kota-kota yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.

Berbeda dengan para pekerja yang merasakan waktu adalah sesuatu yang paling mahal, bagi para pensiunan ini adalah suatu fasilitas yang paling murah. Namun, para pensiunan akan merasakan uang adalah suatu hal yang berharga, ketika para pekerja muda sering menyia-nyiakannya untuk tujuan konsumtif belaka.

Uang menjadi sangat berharga ketika pensiun karena sudah tidak lagi menerima gaji rutin. Sementara uang akan gampang untuk dibelanjakan ketika masih bekerja dan menerima gaji tiap bulan.

Nah, retirement tourism ini kerap dilakukan terutama bagi warga negara yang memiliki sistem pensiun yang baik. Akan tetapi bagi negara yang tingkat kesadaran investasi akan pensiunnya masih rendah, tentu ini menjadi hal yang langka. 

Salah satu negara yang memiliki sistem pensiun terbaik di dunia adalah Denmark dan Belanda, yang bercokol di kolom rangking A+ dalam Melbourne Mercer Global Pension Index 2018. Apa rahasianya?

Dalam laporan Melbourne Mercer Global Pension Index 2018, yang disusun oleh Australian Centre for Financial Studies (ACFS), Denmark mencetak poin 80,2, sedikit di bawah Belanda yang meraih skor 80,3. Sebelumnya, Denmark selama 6 tahun terakhir selalu menduduki peringkat pertama.

"Studi ini mengonfirmasi bahwa Belanda dan Denmark memiliki sistem terbaik, keduanya meraih rating A pada tahun 2018. Menarik juga untuk dicatat bahwa di saat yang sama tak ada yang mendapat rating B+, mengindikasikan gap yang cukup panjang antara keduanya dengan negara lain," tulis ACFS dalam laporan tersebut.

Namun, Denmark unggul dari rasio aset dana pensiun (dapen) terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 175%, yakni US$ 568,58 miliar (2017), atau 5 kali lipat dari aset dapen Indonesia yang hanya US$19 miliar. 

Padahal, PDB Indonesia yang mencapai US$ 1.016 triliun tercatat 3 kali lebih besar dari PDB Denmark yang hanya US$ 324,9 miliar pada periode yang sama.

Jika mengacu pada data Organisasi untuk Kerja-Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD)-yang juga memasukkan aset pengelola investasi dapen, rasio aset dapen di negeri Skandinavia itu mencapai 208,4% atau tertinggi di dunia. Belanda di urutan kedua dengan rasio 184,2%.

Bagi Indonesia, laporan ACFS memberikan kabar positif karena skor indeks pensiun Indonesia naik menjadi 53,1 dari 49,9 pada 2017. Indonesia berada di urutan 26 dari 34 negara dan di nilai C berbarengan dengan Amerika Serikat (AS), Hongkong, Brazil, Italia, Arab Saudi, dan Malaysia.

Kenaikan itu terkait dengan peran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang mulai menyasar program jaminan pensiun kepada pekerja formal dan informal sejak 2015. Sebelumnya, program pensiun hanya bisa dinikmati oleh pegawai negeri sipil (PNS).

"Program pensiun nasional yang baru, diluncurkan pada Juli 2015, akan menyediakan manfaat pasti yang iurannya dibayar oleh pekerja dan pemberi kerja berupa sekian persen dari potongan yang bersifat tetap dari gaji bulanan," tulis ACFS.

Hanya saja, lanjut AFCS, masih ada risiko di industri dapen Nusantara dan beberapa kekurangan yang harus diatasi agar sistem dapen Indonesia berjalan berkelanjutan dalam jangka panjang, misalnya memperluas cakupan manfaat pensiun dan penaikan masa pensiun. 
 



 

KOMENTAR