Ini 5 Negara yang Paling Terkena Dampak Perang Dagang AS

Sifi Masdi

Monday, 20-08-2018 | 12:56 pm

MDN
Presiden AS Donald Trump [ist]

London, Inako

Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang memberlakukan tarif impor kepada para mitra dagangnya mengakibatkan gucangan di pasar global. Negara-negara dengan ekonomi berkembang seperti Turki dan China pun harus membayar ongkos yang lebih mahal untuk bisa mengekspor produk mereka ke AS.

Tidak hanya itu, Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve pun memasang tingkat bunga yang besarnya 4 kali lipat dalam waktu 2 tahun belakangan. Negara-negara dengan utang dollar AS yang cukup besar untuk membiayai pertumbuhan atau pembangunan pun harus membayar harga yang lebih mahal untuk bunga.

Salah satu yang terkena dampak Trump ini adalah Argentina, sehingga negera asal pesepakbola Lionel Messi ini pun harus meminta pertolongan kepada Dana Moneter Internasioal (IMF).

Berikut ini beberapa negara lain yang paling terkena dampak kebijakan tarif AS :

1. Turki

Penangkapan Andrew Brunson, pendeta AS yang berbasis di wilayah Izmir Turki menyulut Trump dan menyebabkan kedua negara terlibat dalam aksi saling balas dalam perdagangan. Trump menuduh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah melanggar hak asasi manusia.

Namun, bukannya melakukan pendekatan secara diplomatik, pihaknya menerapkan tarif impor yang lebih tinggi terhadap produk ekspor Tukri berupa baja, alumunium, serta mobil.

Erdogan pun membalas dengan mengenakan bea impor yang lebih besar untuk produk alkohol, mobil, serta tembakau asal AS. Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin pun mengatakan telah mempersiapkan sanksi lanjutan untuk Turki.

Turki pun saat ini berada dalam kondisi yang rentan. Berbagai bisnis Turki yang berkembang pesat dalam 10 tahun terakhir sebagian besar dibiayai oleh kredit yang murah. Sementara saat ini, bunga kredit begitu mahal.

Lira Turki pun telah anjlok 40 persen sejak Januari lalu, investor pun berpendapat Turki dalam waktu dekat akan mengajukan pertolongan kepada IMF.

2. India

India merupakan negara importir besar, mulai dari minyak mentah, produk elektronik, hingga emas, yang membuat negara tersebut menghabiskan 600 miliar dollar AS tahun ini. Adapun hingga bulan Juli, defisit perdagangan mereka telah melebar menjadi 18 miliar dollar AS, angka tertinggi sejak 5 tahun belakangan.

Dengan ancaman tarif serta berbagai kebijakan proteksionis lain yang dilakukan oleh pemerintah Trump, terutama untuk baja dan alumunium, inflasi di India dapat melebar mendekati 5 persen dari 4,2 persen saat laporan terakhir bulan lalu.

Seperti berbagai perusahaan di Turki, banyak perusahaan di India yang didanai oleh kredit murah dari luar negeri dan khawatir akan meningkatnya biaya jasa saat ini.

Adapun utang luar negeri negara itu naik menjadi 530 miliar dollar AS pada akhir Maret, sebesar 42 persen merupakan utang yang jatuh tempo pada Maret tahun depan, dan sudah hampir pasti akan memiliki tingkat suku bunga yang lebih tinggi.

Tidak heran Rupee telah jatuh tahun ini ke rekor terendah, sebesar 9 persen, meskipun masih lebih kecil jika dibandingkan dengan negara berkembang lain.

3. Argentina

Negara ini memiliki tingkat kerentanan yang serupa dengan Turki dalam bentuk defisit kembar. Artinya, mereka tak hanya defisit neraca pembayaran dari segi pengeluaran publik saja, tetapi juga perlu membayar kembali pinjaman mereka dari bank-bank AS.

Setelah sempat tenang dalam sebulan terakhir, kajatuhan Lira Turki pun turut mendorong peso Argentina kembali anjlok. Hal ini memicu tanggapan cepat dari bank sentral mereka untuk meningkatkan suku bunga sebesar 5 persen menjadi 45 persen.

Argentina pun saat ini juga sedang dihadapkan pada skandal kasus korupsi besar. Mereka juga telah meminta dana talangan kepada IMF.

4. Afrika Selatan

Afrika Selatan, Ukraina, Meksiko, Indonesia, dan Brazil, seluruhnya dihadapkan pada nilai tukar yang terus terdepresiasi akibat khawatir dengan stabilitas perdagangan global serta tarif dagang.

Selain Lira Turki dan peso Argentina, nilai tukar yang terdepresiasi cukup parah adalah rand Afrika Selatan yang jatuh lebih dari 10 persen pada Senin (13/8/2018).

Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa telah berjanji akan merevitalisasi ekonomi setempat, namun dihadapkan pada kondisi defisit neraca permbayaran sekaligus skandal korupsi.

Ramaphosa telah sukses memenangkan janji dari Arab Saudi dan China untuk berinvestasi dalam jumlah besar untuk infrastruktur sekaligus keuangan negara namun nyatanya belum cukup untuk menenangkan keraguan investor.

5. China

Banyak analis percaya, apa yang terjadi pada Turki setara jika dihadapkan dengan China. Sebab saat ini, China harus dihadapkan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan perang dagang dengan AS yang terjadi selama satu tahun berturut-turut.

Presiden China Xi Jinping pun nampaknya juga menanggapi langkah-langkah AS dengan hal-hal yang justru semakin menyulut emosi Trump.

Bank Sentral China terus-menerus mengalirkan dana untuk sistem keuangan mereka agar biaya kredit semakin murah, yang membuat nilai yuan semakin rendah dibandingkan dengan dollar AS.

Langkah ini berbanding terbalik dengan The Fed yang sedang mengurangi quantitative easing serta meningkatkan suku bunga untuk membuat pinjaman semakin mahal.

Trump pun mengeluhkan menguatnya dollar AS melalui Twitternya, sekaligus resah dengan rendahnya nilai tukar yuan yang membuat impor China ke AS menjadi lebih murah.

Hal itu membuat kebijakan tarif yang dikenakan tidak sesuai dengan harapan Trump. Para investor berkeyakinan, hal tersebut justru akan membuat Trump menggandakan tarif impor kepada China.

 

KOMENTAR