Jokowi dan Nasehat untuk Penguasa

Oleh. : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat
Indramayu, Inako
Merujuk kitab Nahjul Balaghah, sebuah kitab yang sering disebut para pemikir modern sebagai kitab "Nasehat untuk Para Penguasa'" dalam salah satu petikan surat politiknya Ali Bin Abi Thalib dalam kitab tersebut mengingatkan kita, "Wala taqulanna inni mu'ammarotun fa utha'a"(Janganlah sekali-kali menganggap diri Anda sebagai penguasa yang diangkat oleh kekuasaan legal, lalu meminta ketaatan tanpa reserve dari rakyat yang telah memilihnya).
Makna kontekstualnya bahwa kritik terhadap Jokowi sebagai pejabat publik adalah bagian dari sistem politik demokratis yang sehat. Kritik jangan selalu ditarik dengan langgam narasi politik radikalisme yang over dosis digunakan rejim Jokowi untuk membungkan oposisi politik masyarakat sipil. Puja-puji berlebihan di media mainstream dan kegaduhan selalu diproduksi untuk menutupi problem bangsa yang hakiki. Republik tidak dirawat dengan mengaktifkan akal sehat. Justru ditindih oleh tumpukan narasi tidak mencerahkan suasana kebhatinan publik.
Periode kedua Jokowi diawali dengan pembentukan Kabinet Indonesia Maju (KIM) yang mencengangkan publik. Kementerian Agama dari sisi historisnya di era penjajahan Jepang tahun 1942 milik Nahdlatul Ulama (NU) dicabut akar tradisinya dilimpahkan ke ormas bentukan musiman Bravo 5. Tempat penampungan pensiunan Jenderal dengan standar pemahaman keagamaan yang sangat minimalis mengikuti jejak rejim Soeharto saat mengangkat Jendral Alamsyah Ratu Prawiranegara menjadi Menteri Agama, rejim yang justru selalu dikritiknya di ruang publik.
Kemendikbud di era Presiden Gusdur pun, tokoh utama NU, tetap menjadi bagian dari jejak pengabdian ormas Islam Muhammadiyah digeser di era Jokowi seolah-olah urusan pembentukan karakter bangsa adalah urusan aplikasi smartphone ala Gojeck yang melambungkan nama Nadiem Makarim di ruang publik lalu ditarik menjadi Mendikbud nihil tradisi pembelajaran sekolah di Indonesia.
Intruksi tegas Jokowi pasca pelantikan para menteri direspons sangat lebay secara massif Menkopolhukam Mahfud MD, Mendagri Tito Karnavian, Menag Fahrur Rozi, Mendikbud Nadiem Makariem dan Menpan-RB Tjahjo Kumolo didukung lembaga survey berpaham sekularistik super sibuk membidik celana cingkrang dan cadar terpapar radikalisme. Diksi khilafah, jihad dan syariat dijauhkan dari ruang publik dan materi pelajaran agama. Generasi siswa diamputasi memori kolektifnya dari keagungan dan kejayaan Islam masa lalu. Para khatib dan penyuluh agama dijejali penataran sertifikasi tentang nasionalisme ultra sekularistik yang kosong dan hampa.
Mereka sibuk mendata Aparat Sipil Negara (ASN) di lingkungan BUMN, Perguruan Tinggi, kementerian dan lembaga negara lainnya yang terindikasi terpapar radikalisme dengan ukuran yang cenderung bias dan membidik semangat formalisme keberagamaan umat. Bekerja dengan intensi teror psyikhologis di ruang publik dilesakkan bertubi-tubi di relung-relung dada umat.
Lembaga negara seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Intelegen Negara (BIN) dan Kepolisian negara dengan tupoksi dan kewenangannya seolah-olah belum cukup mumpumi mempetakan problem terkait anasir potensi radikalisme dan terorisme dalam lanskap solusi yang meneduhkan. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) hanyalah kumpulan petuah-petuah toleransi yang tidak sublimatif, gegabah dan phobia stigmatik selalu menuding radikalisme.
Para staf khusus Presiden serba milenial diperkenalkan dan dibangga-banggakan Jokowi meski tidak jelas untuk sumbangsih apa bagi bangsa Indonesia dengan jarak sangat tajam dari sisi keragaman segmentasi sosial dan demografisnya. Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) yang dipilihnya nyaris sepenuhnya akomudasi politik ekektoral partai dan pro konglomerasi dengan sedikit kepantasan masuknya Habib Lutfi dari unsur representasi ulama.
Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan ormas Islam lainnya tidak boleh berhenti menggerakan politik amar makruf nahi munkar, mengingatkan Jokowi untuk tidak selalu bersandar pada hak-hak prerogatifnya tanpa kearifan tradisi sosiologis bangsa Indonesia. Negara bangsa (nation state) Indonesia bukanlah koorporasi seperti kongsi dagang VOC di era penjajahan belanda. Negara dibentuk untuk melindungi segenap tumpah darah bangsa dan bukan untuk menekan rakyatnya sekedar menunggak iuran BPJS dipaksa diancam hak pelayanan publiknya seperti pembuatan SIM, KTP dan lain lain.
Kembaliah ke khittah negara bangsa Indonesia. Sebuah negara, bangsa yang lahir dan dihadirkan untuk melindungi semua, tidak melindungi yang kaya dan pendukung politiknya dengan pembiaran yang lemah dan golongan oposisi politiknya.
Jokowi dan pembantunya kita beri ruang apresiasi atas kinerja yang manfaat dan maslahat bagi publik tanpa mengurangi proporsi kritik terhadap kinerja kepemimpinannnya. Puja-puji berlebihan tanpa kiritik proporsional mengingatkan kita akan sejarah kelam bangsa atas lengsernya Bung Karno dan Soeharto yang dipuja-puja melangit lalu terlempar nesta dan nestapa dalam rumpun sejarah bangsa kita.
Semoga, bermanfaat.
TAG#Indramayu, #Jokowi, #Presiden Jokowi, #Petahana
190231267

KOMENTAR