Kaum Feminis Arab Perjuangkan Nasib Perempuan Lewat Radio Online

Sifi Masdi

Saturday, 29-09-2018 | 23:47 pm

MDN
Ilustrasi emansipasi wanita Arab [ist]

 

“Kaum feminis Arab menggunakan radio online sebagai media untuk memperjuangkan nasib kaumnya yang mengalami keterpinggiran.”

 

Riyadh, Inako

Banyak cara untuk memperjuangkan hak kaum perempuan, salah satunya adalah meluncurkan radioonline, seperti yang dilakukan oleh kaum feminis di Arab Saudi.

Radio online yang masih baru itu dijalankan dari dari sebuah ruangan kecil, mereka menyiarkan sebuah program yang bertujuan untuk mengkampanyekan hak-hak perempuan yang lebih luas lagi di Arab Saudi.

Dengan diiringi musik melankolis, penyiar Nsawya FM (Feminisme FM) membahas masalah kekerasan dalam rumah tangga di kerajaan itu.

Suara sang penyiar bergetar ketika ia membahas nasib Sarah, seorang perempuan yang dikatakannya dibunuh oleh seorang kerabat laki-lakinya.

Sarah, perempuan berusia 33 tahun yang merupakan lulusan sebuah universitas ini mempunyai pekerjaan tetap dan tinggal bersama orang tuanya. Ia ingin menikahi seorang pria berkewarganegaraan Yaman.

"Impian Sarah kandas setelah ditembak dengan lima peluru oleh saudara laki-lakinya yang berumur 22 tahun, meskipun ia sudah resmi bertunangan dengan persetujuan orang tuanya," tutur Ashtar, 27 tahun, kepada BBC Arab melalui telepon.

Ia menggunakan nama samaran yang terinspirasi oleh dewi cinta dan perang dari Mesopotamia.

Kasus itu dilaporkan berbagai media dan diperbincangkan oleh orang-orang yang mengenalnya, kata Ashtar.

Sang penyiar juga menceritakan kisah Hanan Shahri, yang dilaporkan bunuh diri pada tahun 2013, setelah kakak dan pamannya diduga memukulinya, mereka tak mengizinkan Hanan menikahi tunangannya.

Kasus-kasus seperti itu, ujar Ashtar, "hanyalah puncak gunung es".

Mayoritas bisu

Bulan lalu lalu, Nsawya FM membuat akun Twitter dan mengumumkan akan menyiarkan program mingguan yang akan menjadi "suara bagi kalangan mayoritas bisu".

Radio online ini juga menyerukan kepada para relawan yang ingin terlibat dalam produksi atau menyumbangkan materi.

Dalam dua minggu terakhir, stasiun radio itu menyiarkan dua program selama satu jam dengan hanya menggunakan mikrofon, laptop dengan perangkat lunak penyuntingan dan siaran langsung audio dari situs web streaming, Mixlr.

Rendahnya kualitas audio dan keseluruhan produksi secara umum, mencerminkan sifat non-profesional dari proyek ini.

Ashtar mengatakan, awalnya mereka tidak terlalu membayangkan bisa memperoleh banyak pendengar. Dan tujuan mereka sebenarnya adalah mencapai "pertumbuhan bertahap" karena program mereka adalah menyebarkan kesadaran tentang hak-hak perempuan.

"Kami memulai proyek ini untuk sekadar mengabadikan fase ini sebagai sejarah, sehingga orang-orang akan tahu kami nyata, kami memang ada," jelas Ashtar, yang tidak ingin mengungkapkan jati dirinya, meskipun tinggal di luar Arab Saudi karena ia takut ada tindakan balas dendam.

"Otoritas Saudi bisa melarang Twitter kapan saja dan gagasan-gagasan kami akan lenyap. Padahal radio memberi kami kesempatan untuk merekam semua program dan menyiarkannya di platform lain," tambahnya.

Menurut PBB, setidaknya 17 pembela HAM dan aktivis hak-hak perempuan yang kritis terhadap pemerintah Saudi ditangkap atau ditahan sejak pertengahan Mei. Beberapa dari mereka dituduh melakukan kejahatan serius, termasuk melakukan "kontak yang mencurigakan dengan pihak-pihak asing", dan bisa dipenjara hingga 20 tahun jika terbukti bersalah.

 

KOMENTAR