Kegelisahan Pangdam III Siliwangi Menuju Pemilu 2024

Saverianus S. Suhardi

Tuesday, 09-05-2023 | 16:41 pm

MDN
H. Adlan Daie-Pemerhati Politik dan Sosial Keagamaan

 

 

Jakarta, Inakoran.com

(Oleh : H. Adlan Daie-Pemerhati Politik dan Sosial Keagamaan)

Sepanjang era reformasi (pasca dihapusnya Dwifungsi ABRI - kini disebut TNI), tidak pernah ada seorang Mayor Jenderal (Mayjend) yang aktif dalam posisi jabatan "teritorial" penting di pulau Jawa, "berani" mengemukakan kegelisahannya secara terbuka terkait  pemilu 2024 selain Mayjend Kunto Arief Wibowo, Pangdam III Siliwangi yang meliputi teritorial provinsi Jawa Barat dan Banten.


BACA JUGA: Menko Muhadjir:  Pemajuan Budaya ASEAN Direalisasi Melalui Pertukaran Tokoh Budaya


 

Mayjend Kunto Arief Wibowo, putera dari Jenderal (purn) Tri Sutrisno, menulis secara lugas di harian "kompas" (edisi 10 April 2023) berjudul "Etika menuju 2024" - sebagian kutipannya sebagai berikut :

"Kita tidak mempersoalkan siapa pun yang bertarung dan siapa pun kontestan. Selagi memenuhi syarat silahkan turun ke gelanggang. Mau main jujur? Bagus dan memang harus begitu. Mau main curang? Ada aturan yang akan membatasi."

Ketika permainan curang membuat penonton heboh atau bahkan membuat penonton semakin resah dan tidak nyaman maka "terapi" khusus harus diterapkan." Mayjend Kunto Arief Wibowo menutupnya tulisannya dengan kalimat "maka demi alasan keamanan dan pertahanan, TNI agaknya harus sedikit maju mengambil posisi."

Kita tidak perlu meminjam analisis para pakar dan pengamat - untuk menyebut sebagian - sekelas Dr. Salim Said atau pengamat asing seperti Sidny Jone, spesialis yang menekuni sejarah "pergumulan militer dan politik di Indonesia" untuk memahami "kegelisahan"  Mayjend Kunto Arief Wibowo yang menilai dinamika politik hari hari ini  "tidak baik baik saja"  menuju pemilu 2024.

 

Tulisan Mayjend Kunto Arief Wibowo merupakan "kode keras" yang berangkat dari  analisis data intelegen di lingkungan TNI tentang potensi 'kecurangan' di Pemilu yang akan datang. Rakyat (beliau mengibaratkan "rakyat" sebagai "penonton") potensial menjadi heboh atau bahkan resah dan tidak nyaman, sehingga "terapi" khusus harus diterapkan.

Kata "terapi khusus" inilah yang kini menjadi perbincangan serius di kalangan para pengamat politik. Apa bentuk skenario "terapi" yang disiapkan TNI jika "turbulensi" atau goncangan politik benar-benar terjadi menuju pemilu 2024.

Ketika politisi sipil hasil pemilu 1955 dalam Sidang Konstituante selama tiga tahun (1956-1959 ) hanya mempertontonkan pertarungan keras secara ideologis dan sulit mencapai konsensus, maka TNI, atau ABRI saat itu, mengambil peran politik memback-up Bung Karno dengan mengeluarkan "dekrit" (1959) tentang pembubaran "konstituansi" (lMPR) dan menyatakan kembali ke UUD 1945.


BACA JUGA: Sebutan Petugas Partai dan Petugas Rakyat untuk Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan


 

Peralihan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru tidak lepas dari peran politik militer untuk mengakhiri politik "Nasakom" Bung Karno yang ditentang keras TNI AD. Operasi politik militer pimpinan Soeharto yang disebut peneliti LIPI Asvi Arman Adam, sebagai "kudeta merangkak" masuk melalui peristiwa pembunuhan enam 6 Jenderal TNI AD dalam gerakan 30 S/PKI dan secara politik Jenderal Soeharto sebagai pemegang mandat "Supersemar" membubarkan PKI.

Tentu masih banyak peristiwa politik di Indonesia yang tidak lepas dari peran politik militer, seperti yang umumnya terjadi di negara-negara berkembang, sebagaimana ditulis Rosihan Anwar, Wodley P. Tomson dan lain-lain tentang "dinamika politik tentara" dalam sejarah politik di Indonesia.

Akan tetapi, sejumlah pengamat pun mengakui bahwa TNI di era reformasi "sangat patuh" pada supremasi kekuasaan politik sipil sehingga mereka bukan saja "legowo" keluar dari perwakilan representasi politik di DPR/MPR RI. Wewenangnya yang besar di era Orba Baru juga rela dilucuti untuk membeli jalan konsolidasi demokrasi. Pada saat yang sama, area penugasan dan kewenangan polisi justru semakin luas.

Dalam konteks itulah "kegelisahan" seorang Mayjend muncul atas dinamika politik menuju 2024  harus diletakkan sebagai "kode keras" bagi para polititisi sipiil untuk tidak memancing mancing TNI "selangkah lebih maju" masuk ke area politik. 

 

Manuver politisi sipil mulai dari wacana amandemen tiga periode, perpanjangan jabatan presiden, hingga potensi kecurangan pemilu yang mulai membikin "sumpek" rakyat telah dibaca secara cermat oleh TNI.

Karena itu Mayjend Kunto Arief Wibowo memberi "saran" bahwa aktivitas politik menuju pemilu 2024 hendaknya dilaksanakan dengan penuh etis, bijaksana, beradab, dan elegan. Partai politik harus bertanggung jawab, karena lembaga inilah yang menjadi wahana formal

Andai ketidakpedulian tetap terjadi dan semakin menguat, TNI sebagai organisasi negara paling berdisiplin tinggi melalui suara Mayjend Kunto Arief Wibowo harus sedikit maju dalam mengambil posisi. 

Semoga ini tidak terjadi karena ongkosnya sangat mahal dan demokrasi berjalan mundur. Akan tetapi, hal ini sebenarnya bergantung pada kearifan dan kedewasaan para elite politik sipil yang selama ini terlalu sering menari-nari di atas kesumpekan suasana kebatinan rakyat.

Wassalam.

 

TAG#Pemilu, #TNI, #Politik, #2024

190215254

KOMENTAR