Kemesraan di Bibir Sungai Cisadane dan Warga Tionghoa

Hila Bame

Thursday, 03-02-2022 | 09:25 am

MDN
Warga Tionghoa yang bermukim tidak jauh dari sungai Cisadane Kotamadya Tangerang bersama Peneliti IKI (Foto: IKI) Jumat 28/1/2022

 

 

JAKARTA, INAKORAN

Endapan dari sedimen hara yang diangkut kala Sungai Cisadane meluap menyuburkan tanaman Singkong, Pepaya dan tanaman palawija lainnya di dua bibir sungai yang membelah sama rata perkampungan warga Tionghoa Sewan, Desa Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Kotamadya Tangerang pada Jumat (28/1/2022).

Masuk dari sudut perkampungan pecinan itu disuguhkan oleh bakaran keharuman sate babi yang mengungkit selera di suatu senja.  Peneliti Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) sore itu mendatangi pemukiman warga Tionghoa.

Nikah massal menjadi topik bicara dengan warga dan relawan IKI pendamping warga mengurus dokumen kependudukan. IKI sejak 15 tahun silam telah fokus pada advokasi dan fasilitasi masyarakat rentan administrasi kependudukan. 

Warga Tionghoa kawasan Sewan atau tepatnya pinggiran sungai Cisadane mengalami persoalan akta nikah atau akta perkawinan yang belum tercatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Tangerang.

Kondisi ini banyak dialami  warga Tionghoa pada strata ekonomi sedang. Teradapat banyak rintangan  saat mencatat pernikahan mereka di Dinas Dukcapil. Mereka telah nikah sah secara agama, hanya saja sebagian dari mereka belum mendapatkan akta nikah. 

Adapun Akta perkawinan diterbitkan oleh Catatan Sipil untuk mendokumentasikan acara pernikahan.

Akta perkawinan bisa melindungi hak dan kewajiban suami istri, juga melindungi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.  Dengan akta perkawinan, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar anak akan terlindungi oleh undang-undang. 

Akta perkawinan adalah pengakuan negara akan sebuah pernikahan yang berlangsung antara suami dan istri. Ketika negara mengakui pernikahan, maka bisa mencegah fitnah dan memberikan posisi pasti pada kedua belah pihak, baik suami maupun istri.

Akta perkawinan juga bisa digunakan untuk mengurus dokumen anak-anak, memudahkan dalam pengurusan hak asuh anak, dan menegaskan status anak sehingga tak ada pihak yang dirugikan jika terjadi sebuah perceraian.

Nikah massal warga Tionghoa menjadi poin penting pelayanan IKI yang rencananya akan dilaksanakan pertengahan Maret 2022, ujar Swandy Sihotang, Peneliti Senior IKI saat bertemu dengan relawan Tangerang yang selama ini telah lakukan kerjasama.

 

Pertemuan dengan warga Tionghoa Tangerang diprakarsai Swandy Sihotang ditemani ketua IKI KH Saifullah Ma`shum, Albertus Pratomo, Sekretaris Umum IKI, Eddy Setiawan dan P. Hosti Prasetyadji (peneliti senior)  lakukan kesepakatan untuk menyiapkan langkah-langkah strategis sebelum bulan Maret 2022.

Yosi relawan IKI Tangerang mengatakan ada sekitar 50 pasang keluarga peserta nikah massal yang akan digelar pada Maret 2022 itu.

Warga Tionghoa Tangerang lazim disebut Cina Benteng (Cinbeng).

Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan), keberadaan komunitas Tionghoa di Tangerang dan Batavia sudah ada setidak-tidaknya sejak 1407.

Etnis Tionghoa di Tangerang ini merupakan keturunan imigran Cina Hokkian, yang konon pertama kali datang di kawasan Tangerang pada 1407 sebelum Vereenigde Oostindische Compagnie VOC.

 

Sebutan Cina Benteng ini merujuk pada nama lama Kota Tangerang yaitu Benteng, yang dibangun VOC di bagian timur Sungai Cisadane.

Peleburan budaya Tionghoa pun terjadi sejak dulu antara lain melalui kuliner, bangunan rumah dan juga musik gambang kromong.

Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan pertama dari dataran Tiongkok yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.

 

Orang Tionghoa Benteng (atau lebih dikenal dengan sebutan Cina Benteng atau Orang Benteng) adalah panggilan yang mengacu kepada masyarakat keturunan Tionghoa yang tinggal di daerah Tangerang, provinsi Banten. Nama “Tionghoa Benteng” berasal dari kata “Benteng”, nama lama kota Tangerang.

Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane, difungsikan sebagai pos pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten.

Benteng ini merupakan benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa.

Masyarakat Tionghoa Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kotamadya Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.

Mereka adalah komunitas Tionghoa Peranakan terbesar di Indonesia. (HB@yi1182006)

 

KOMENTAR