Ketum Dantara: Perkuat Persatuan Jaga NKRI, Salah Kelola Nyawa Taruhan, Jelang Pilpres 2024

JAKARTA, INAKORAN
Kelas menengah di Indonesia, menjadi cikal bakal pelaku sisitem demokratis di masa depan. Sesama warga bangsa Indonesia, tidak boleh diskriminatif, siapa saja boleh jadi Presiden maupun Menteri.
Diupayakan persaingan bebas antara kandidat menuju Pemilu 2024, namun keselamatan sesama anak bangsa menjadi perhatian semua pihak.
Setiap orang memiliki perferensi sendiri terhadap calon yang menjadi pemimpin Indonesia lima tahun ke depan, nyawa manusia indonesia jangan jadi korban sia-sia oleh syahwat politik membeku sendirian.
Demikian isi pikiran para Ketua umum Relawan pendukung Presiden pada pemilu 2024. Hadir dalam diskusi kurang lebih 40-an Ketua umum Relawan pendukung Presiden dengan tajuk: Indonesia Damai Jelang Pilpres 2024" mengambil tempat di kawasan Kemang Jakarta Selatan, Selasa (28/2/2023).
Faktor Keselamatan Anak Bangsa Menjadi Perhatian Semua Pihak Pada Pemilu 2024
Dr. Muhammad Qodari, Direktur eksekutif Indo Barometer, yang tampil pada sesi jelang akhir diskusi, mengajukan sebuah pertanyaan; apakah kita semua selamat jelang dan setelah pemilu 2024. " Pemilu 2024, terang Qodari, agak berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya", ujarnya.
Sejak 2014, politik Indonesia memasuki era baru, kotak pandora sudah terbuka yang namanya politik identitas.
Pemilu sebelum tahun 2014 isu agama ga pernah, jaman SBY ga ada isu agama, namun pada putaran kedua, SBY lawan Megawati Soekarno Putri muncul Fatwa bahwa memilih perempuan haram, jelas Qodari.

Kawasan Kemang Jakarta Selatan Selasa (28/2/2023)
Foto: INAKORAN.COM
Tapi istilah kafir baru muncul 2014. Dan saat itulah calon presiden kita ditolak dengan mengggunakan sentimen agama. Dengan komunis, cina, keturunan singapura dan seterusnya.
Pada tahun 2017, (politik identitas) alami eskalasi. Sebelumnya tidak ada pengumpulan masa seperti pada pemilukada DKI 2017. Pada fenomena 212, 411, rumah ibadah yang dicoret-coret hingga isu-isu yang menyeramkan.
baca:
Relawan Pendukung Presiden, Desak Jokowi Cabut SKB 2 Menteri untuk Rumah Ibadah
Ketika itu calon yang diklaim sebagai penganut agama tertentu menang. Pada saat itulah isu agama menjadi seksi. Saat itulah politik identitas menjadi senjata nuklir.
Pada Pemilu Presiden 2019, terjadi lagi eskalasi yang disokong oleh perkembangan teknologi digital yang dikenal dengan hoaks.
Sebelum hoaks menjalar dinegeri ini kita mengenal surat kaleng, pada pemilu 2014 ada tabloid, namun pada 2019, hanya dengan sentuhan jari berita hoaks masuk dalam pikiran manusia dan ketika itu lahirlah dua kelompok manusia Indonesia yaitu cebong dan kampret, jelas Qodari.
Karena itu pada Pilpres 2024 yang menjadi koncern kita bersama adalah bukan pembangunan apakah berlanjut atau tidak, tetapi apakah kita semua selamat, ketika dan setelah pemilu, Qodari mengingatkan.
Kesalahpahaman dan beda pendapat jelang pemilu 2024, harus dikelola. Jika kelompok kecil mempengaruhi kelompok besar mengadu domba kelompok agama tertentu dan kelompok nasionalis maka potensi terjadi konflik akan sangat mungkin.
Jika dilihat lagi kebelakang, keterbelahan Indonesia sudah ada sejak negara ini berdiri, ujar Qodari. Sebelum merdeka Indonesia meiliki kelompok santri dan non santri atau nasionalis. Hari ini dan kedepan nya Indonesia sudah punya aktor dalam negeri yang mengipas dan menyulut perbedaan.
" Tukang kipas nya sudah ada, pemimpin agamanya ada, ada jaringan alumni kawasan dunia, tukang dakwah nya ada" ungkap Qodari.
Namun semua ini adalah konstruksi elit.
Hati-hati pada pemilu 2024 ada calon yang di stempel dari agama tertentu. Dan ketika politik identitas dinyalakan, bisa berdarah-darah.
" Kita semua tidak ingin Indonesia berdarah-darah" pesan Qodari menutup diskusi.
TAG#JOKOWER, #PILPRES24
198736395
KOMENTAR