KH. Maman Imanulhaq, NU, KITA dan Tanda Jasa yang jadi Prokontra itu

Jakarta, INAKORAN
Sebelum Pilpres 2019, warga NU berjuang melawan radikalisme. Wujudnya melalui perjalanan kebangsaan dengan tagline: "Jelajah Kebangsaan" menggunakan Kereta Api, melakukan penjelajahan dari Merak hingga Banyuwangi, ujung timur Pulau Jawa.
Dalam kereta dua kotak, kereta inspeksi milik PT KAI ada Prof Mahfud, Alisa Wahid, Romo Beny Susetyo dari Katolik, dan tokoh NU lainnya hampir seminggu lamanya (18 hingga 23 Februari 2019) berjalan sepanjang Pulau Jawa menyebarkan rasa kebangsaan, rasa persatuan untuk Indonesia.
BACA :
Berhenti di setiap stasiun melakukan dialog dengan warga mulai dari stasiun Merak, Jakarta, Cirebon, Purwokerto, Tugu Yogyakarta, Solo Balapan, Stasiun Jombang, Gubeng Surabaya dan berakhir di Banyuwangi.
Selain KompasTV dan Kompas Grub demikian media lainnya, Inakoran.com menjadi sangat terhormat karena meliput kegiatan para Tokoh NU yang disegani sekaligus termasyur dengan, "Politik Kebangsaan bukan Politik Kekuasaan".
Alisa Wahid ketika itu harus memakai kursi roda dengan salah satu kakinya berbalut, karena kecelakaan. Semangat kebangsaan dalam dirinya menghilangkan rasa lelah perjalanan darat yang lumayan melelahkan.
BACA :
KITA Jakarta Lakukan Deklarasi, Maman Imanulhaq: Kita Harus Tetap Bergerak dan Kreatif
Kang Maman, Direktur Tim Kampanye Nasional Jokowi-Maruf Amin
Kang Maman dikenal sebagai Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ia juga pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi Majalengka.
Besar sebagai aktivis anti kekerasan, H. Maman Imanulhaq membawa misi penting di tempatnya berlegislasi Komisi VIII DPR RI. Kyai muda kelahiran Sumedang 8 Desember 1972 ini menyatakan komitmennya untuk memperjuangkan penghentian segala bentuk kekerasan atas nama suku, ras, agama terhadap siapapun terutama perempuan dan kelompok minoritas. Perlindungan atas kebebasan berkeyakinan dan beragama adalah prinsip kerja politik Maman Imanulhaq lainnya.
BACA:
Antisipasi Resesi, KITA Banten Resmikan Kebun Kebangsaan
Selain politik kebangsaan yang selalu menuntut pengorbanan, NU juga mengemban spirit politik profesional. Masyaikh NU tidak akan pernah mutung, ngambek, dan merasa dikhianati.
Selain hal itu memang bagian dari risiko perjuangan di jalur politik, masyaikh NU tahu bahwa mendikte presiden dalam menyusun kabinetnya adalah pelanggaran.
Karena itu ketika Kang Maman tidak masuk dalam Kabnet jilid II Presiden Joko Widodo, intelektual muda NU ini santai saja tidak menyurutkan perjuangan kebangsaan yang menjadi "darah Nahdlatul Ulama".
Bahkan mendirikan KITA me-refres kembali perjuangan Kebangsaan yang menjadi habitat utama dari arus besar NU.
Bagaimana tanggapan Kang Maman terkait Tanda Jasa yang tidak dihadiri Mantan Panglima Gatot Nurmatyo?
"Tentu sangat disayangkan ketidakhadiran pak Gatot saat penyerahan Tanda jasa itu. Hal itu menjadi kontraproduktif bagaimana seorang prajurit yang taat kepada negara ternyata tidak hadir ketika pemberian penghargaan itu dilaksanakan, ujar Kang Maman via pesan singkat Whattsap Rabu (11/11/2020)
"Yang kedua, lanjut anggota DPR RI Fraksi PKB ini, ini akan menjadi preseden yang buruk seolah-olah perbedaan pandangan dalam politik membuat seseorang mengabaikan niilai penghormatan terhadap sebuah negara" tandasnya.
Kita harus belajar dari the founding fathers dan tokoh-tokoh bangsa, mereka bisa mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda tetapi, ketika itu berkaitan dengan negara, tentu mereka akan satu kata, terang Kang Maman yang juga dikenal sebagai aktivis Anti Kekerasan itu.
Misalnya saya ingin menyebutkan hubungan Pak J Kasimo dari Partai Katolik itu berbeda pandangan dengan Masyumi yang ketika itu dipimpin oleh pak Prawoto (Prawoto Mangkusasmito).
Pandangan yang berbeda itu tidak membuat keduanya berhubungan jelek dalam sehari-hari. Bahkan Pak Kasimo lah yang mencarikan tempat tinggal untuk Pak Prawoto yang Msyumi.
Inilah hal - hal yang perlu kita belajar dari tokoh kita terdahulu. Artinya siapapun yang berbeda dengan pemerintah, tetapi ketika itu adalah negara yang menganugerahkan simbol negara, seharusnya dihormati.
Saya sebagai Ketua Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA) mengajak kembali kepada seluruh elemen bangsa terutama-tokoh-tokoh untuk membedakan mana yang bersifar pribadi mana yang bersifat pandangan-pandangan politik, mana yang bersifat menjadi hal yang menyatukan kita.
Soal negara, soal masa depan NKRI adalah sesuatu yang perlu dipikirkan bersama dengan kwalitas pandangan dan tentu, dengan strategi yang berbeda, tutup KH Maman.
TAG#KANG MAMAN, #NU, #GATOT NURMATYO, #PKB, #KITA, #DPR RI
198737401
KOMENTAR