KH Said Aqil Siradj, Sang Penjaga PBNU

Oleh : Husni Mubarok
Wakil Bendahara PW HPN Jawa Barat
Jawa Barat, Inako
Dua sisi sekaligus tidak dapat dipisahkan dari pribadi KH.Said Aqil Siradj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Yakni, pertama, kedalaman ilmu agamanya dengan daya hafal tinggi atas mata rantai silsilah kitab kuning lengkap dengan tahun lahir dan wafat pengarangnya serta jumlah jilid kitabnya. Kedua, komitmen kebangsaannya tinggi. Setia lahir batin menjadi sang penjaga Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 (PBNU) dari setiap rongrongan dan upaya pelemahan pilar-pilar kebangsaan di atas.
KH. Said Aqil Siradj terpilih menjadi Ketua Umum PBNU untuk pertama kalinya dalam Muktamar NU ke - 32, tahun 2010 di Makasar, Sulawesi Selatan. Penguasaan dan pemahaman ilmu agamanya serta pengalaman interaksinya secara intens mendampingi Gusdur sebagai Ketua Umum PBNU di berbagai forum menjadi bekal berharga bagi KH.Said Aqil Siradj memimpin jam'iyah NU, sebuah ormas Islam terbesar dan berakar kultural kuat di Indonesia.
Tahun 2015 terpilih kembali menjadi Ketua Umum PBNU dalam Muktamar NU ke - 33 di Jombang, Jawa Timur dengan tema besar "Mengukuhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Dunia". Sebuah tema sempat kontrovesial di ruang publik meskipun maknanya adalah Islam ala NU sendiri. Yakni Islam yang "tawashut, tasamuh, tawazun wal i'tidal", moderat, toleran, berimbang dan berkeadilan dengan pendekatan akulturatif, memelihara infrastruktur sosial lama yang baik dan akomudatif atas hal-hal baru yang lebih baik (Al Muhafadlah 'ala al qodim al sholih wa al akhdu bil jadid al aslah).
Dalam periode keduanya inilah KH. Said Aqil Siradj dihadapkan tantangan yang tidak mudah untuk mengemudikan kapal besar NU. Makin menguatnya arus politik identitas dengan ekspresi Show Of Force gerakan 212 berkali-kali di jalanan protokol Ibukota Jakarta mengiringi momentum Pilkada DKI Jakarta 2017 dan puncaknya kontestasi Pilpres 2019 dipenuhi sumpah serapah ujaran kebencian berbasis etnis, suku dan agama nyaris merobek tenun-tenun kebangsaan kita.
NU sebagai salah satu kekuatan politik masyarakat sipil di bawah kepemimpinan KH. Said Aqil Siradj, istiqamah tegak lurus dalam prinsip perjuangan politik kebangsaannya dengan segala resiko caci maki dan framing stigma negatif lainnya. Tetap kukuh menjadi pasak bumi Indonesia, berdiri di titik tengah di antara pengkutuban ekstrim kanan dan kiri, radikalisme agama dan radikalisme sekuler serta Islam ekslusif dan ultra nasionalis.
Seluruh anasir-anasir perbedaan suku, etnis dan agama diletakkan dalam orkestrasi kearifan kebangsaan yang plural dan harmonis di tengah tarikan ektrim politik identitas di ruang publik. Di titik inilah KH. Said Aqil Siradj dengan kekuatan integritas pribadinya, kedalaman khazanah keilmuannya, keberanian sikapnya dan keteguhan prinsipnya hadir sebagai sang penjaga setia pilar-pilar kebangsaan, yakni Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 (PBNU).
Dalam kerangka penguataan pilar-pilar kebangsaan di atas selain mencegah arus radikalisme dengan berbagai motifnya, KH. Said Aqil Siradj mengingatkan pemerintah tidak menutup mata terhadap problem-problem sosial yang menjadi ancaman serius bagi retaknya pilar kebangsaan, yaitu :
Pertama, mencegah suburnya praktek politik oligarkhis agar sirkulasi kekayaan negara tidak hanya berputar dinikmati lingkaran elite penguasa dan para Taipan kongsi bisnisnya.
Kedua, reforma agraria tidak dimaknai dengan pencitraan bagi-bagi sertifikat lahan melainkan secara fundamental bermakna redistribusi penguasaan lahan secara proporsional.
Ketiga, mempersempit gini rasio atau kesenjangan ekonomi dengan tidak berbasa basi menggerakkan ekonomi mikro yang hingga hari ini hanya janji-janji, jauh panggang dari api.
Keempat, menjauhkan aparat hukum bekerja atas pesanan politik melainkan murni penegakan hukum berbasis fakta-fakta hukum dalam pembuktiannya.
Kelima, penempatan pejabat dengan prinsip profesionalisme dan kompetensi di bidangnya, tidak semata-mata akomudasi politik dengan pencitraan milenial yang tidak memiliki urgensi apapun.
Keenam, reorganisasi BUMN secara efisien sehingga tidak beranak pinak menghambat partisipasi pelaku ekonomi swasta.
Ketujuh, management hutang tidak disandarkan pada ambisi pemerintah yang membebani publik. Hingga kini makin menggunung hutangnya tidak korelatif dengan manfaat yang dirasakan publik.
Kedelapan, pencegahan radikalisme dan tindak terorisme harus di built up dari hulu ke hilir, tidak dengan pola management kasusnya di hilir dengan sensasi-sensasi yang menyesakkan ruang publik.
Kesembilan, demokrasi Pancasila harus diperkuat implementasinya dengan kearifan lokal agar demokrasi kita tidak tercerabut dari akar budaya bangsa sendiri.
Muktamar NU ke - 34 di Provinsi Lampung, Sumatera, tahun 2020 harus diletakkan dalam konteks menghadapi tantangan kebangsaan di atas, agar arah kiblat bangsa tidak putar haluan ke arah rezim politik oligarkhis dan kapitalisme pasar.
Dalam konteks ini KH.Said Aqil Siradj perlu diberi kesempatan sekali lagi memimpin jam'iyah besar NU untuk mengawal pemerintah bekerja semata-mata dalam kerangka mengatasi problem-problem di atas dan meningkatkan derajat kemaslahatan umum bukan panggung pencitraan politik yang memuakkan publik.
TAG#Jawa Barat, #PBNU, #Muktamar NU, #Husni Mubarak, #KH said Aqil Siradj
190215788
KOMENTAR