Koalisi Masyarakat Sipil TNI Fait Accompli kepada Otoritas Sipil terkait Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme”

Jakarta, Inako
Pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme akhir-akhir ini mendapatkan respon dari internal TNI sendiri. Dalam beberapa berita dan video yang beredar Komandan Korps Pasukan Khas TNI AU, Komandan Korps Marinir TNI AL dan Komandan Komando Pasukan Khusus TNI AD mengatakan bahwa rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme sangat penting untuk dibuat. Bahkan TNI juga diduga secara aktif melakukan lobi-lobi di DPR untuk mendukung rancangan Perpres.
Kami memandang, langkah politik tersebut adalah bentuk fait accompli TNI terhadap otoritas sipil. Sebagai alat pertahanan negara, TNI merupakan pelaksana kebijakan negara dan bukan membuat kebijakan negara. Sehingga TNI tidak seharusnya menunjukkan sikap politik kepada publik bahkan di duga melakukan lobi-lobi kepada DPR untuk mengesahkan rancangan Perpres tersebut. Langkah-langkah TNI itu terkesan memaksakan otoritas sipil untuk segera mengesahkan rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, demikian rilis Koalisi Masyarakat Sipil : Imparsial, KontraS, Setara Institute, LBH Jakarta, HRWG yang diterima inakoran.com Kamis (3/9).
Baca juga:
Padahal, rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang telah diserahkan Pemerintah kepada DPR masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang berpotensi mengancam hak asasi manusia dan kehidupan demokrasi. Rancangan Perpres tersebut banyak memuat substansi pasal yang bertentangan dengan undang-undang, yakni UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Komnas HAM menilai rancangan Perpres tersebut memberikan kewenangan yang terlalu luas dan berlebihan kepada TNI sehingga berpotensi terjadi pelanggaran HAM.* Di tengah urungnya pemerintah merevisi UU Peradilan Militer, tugas TNI yang terlalu luas dan berlebihan berpotensi menimbulkan problem impunitas dan akuntabilitas, mengingat TNI memiliki sistem peradilan sendiri dan tidak tunduk pada sistem peradilan umum.
Dalam negara demokrasi yang menghormati prinsip supremasi sipil, pembentukan perpres dan undang-undang sepenuhnya berada di tangan otoritas sipil. Karena itu, sepatutnya TNI tunduk pada kebijakan otoritas sipil dan melaksanakan kebijakan tersebut. TNI tidak seharusnya melakukan langkah-langkah politik yang berupaya mendorong proses pengesahan perpres. Jika TNI memiliki padangan terkait perpres, seharusnya padangan tersebut disampaikan ke dalam pemerintahan dalam hal ini Kementerian Pertahanan dan bukan disampaikan kepada publik, apalagi diduga sampai melobi ke DPR.
Fait accompli TNI terhadap pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme merupakan bentuk lain dari upaya memengaruhi dan memaksa otoritas sipil utuk mengesahkan rancangan perpres tersebut. Padahal, rancangan perpres tersebut masih dalam proses pembahasan antara Pemerintah dan DPR. Langkah-langkah politik TNI dalam memengaruhi rancangan perpres sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi mengingat TNI memiliki monopoli atas penggunaan senjata dan kekuatan koersif.
Kami memandang bahwa pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme memang dimungkinkan, tetapi akuntabilitas hukumnya harus tunduk pada sistem peradilan pidana umum. Pelibatan militer dimungkinkan untuk menghadapi ancaman terorisme yang sifatnya nyata (imminent threat) dimana ancaman terorisme mengancam kedaulatan negara yang kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa lagi mengatasi aksi terorisme (last resort) dengan dasar keputusan politik negara bukan perintah presiden.
Langkah-langkah tersebut mengesankan betapa bersikerasnya TNI untuk kembali ikut campur dalam kehidupan sipil.
Perlu juga ditekankan bahwa pelbagai kritikan dalam Rancangan Perpres ini berkaitan dengan upaya menjaga reformasi TNI tetap berada di jalurnya, bukan berbasis overdosis HAM ataupun over supremasi sipil. Selain itu, ini juga berkaitan dengan tatakelola yang konstitusional, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta prinsip demokrasi dan HAM.
Kami meminta kepada otoritas sipil dalam hal ini Presiden dan DPR untuk melakukan kontrol sipil demokratik terhadap TNI dan mengendalikan TNI agar tidak melakukan sikap dan langkah politik dalam mendorong pengesahan Perpres TNI mengatasi aksi terorisme. Sudah semestinya tugas dan fungsi TNI melaksanakan kebijakan pertahanan negara dan bukan membuat kebijakan pertahanan negara.
Koalisi Masyarakat Sipil
TAG#KOALISIS MASYARAKAT SIPIL, #KOALISI MASYARAKAT SIPIL
190215871
KOMENTAR