Komite Refrendum Merusak Jiwa Semangat dan Prinsip Perwakilan Menurut Amanat UUD`45

Oleh: Petrus Selestinus
JAKARTA, INAKORAN
Referendum, sebuah istilah yang sering muncul dalam dinamika politik di Indonesia, bukan saja di era orde baru, tetapi juga di era reformasi, terkait dengan upaya meminta persetujuan rakyat tentang perubahan konstitusi.
Di era orde baru, Referendum dimaksudkan untuk membentengi agar tidak ada kekuatan politik manapun termasuk MPR, yang bisa dengan mudah melakukan amandemen terhadap UUD'45, apalagi yang sifatnya merongrong dasar negara dan statusquo, karena itu TAP MPR No. IV/MPR/1983, Tentang Referendum dan UU No. 5 Tahun 1985 Tentang Referendum, dibentuk untuk menjadi benteng UUD'45.
Di Era Reformasi, Referendum sebagai benteng pertahanan UUD'45 justru dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan TAP MPR No.VIII/ MPR/1998 yang mencabut TAP MPR No. IV/MPR/1983 Tentang Referendum, kemudian disusul dengan UU No. 6 Tahun 1999, Tentang Pencabutan UU No. 5 Tahun 1985 Tentang Referendum, karena tidak sesuai dengan semangat, jiwa dan prinsip perwakilan di dalam UUD'45.
REFERENDUM DAN KOMITE REFERENDUM TIDAK LEGITIMATE
Apa yang terjadi di NTT, dengan Komite Referendum dengan misi meminta pendapat rakyat mengamandemen UUD'45 kedengarannya prestisius, namun tidak legitimate, karena tidak ada payung hukum, tidak diatur dalam.UUD'45 dan tidak sejalan dengan prinsip perwakilan yang terkandung di dalam UUD'45 itu sendiri.
Tugas menjajaki bagaimana persepsi masyarakat NTT tentang jabatan Presiden Jokowi 3 (tiga) periode, sebetulnya cukup dilaksanakan oleh sebuah lembaga survei yang kredibel, karena Referendum dalam pengertian UU adalah hal ikhwal meminta pendapat rakyat secara langsung tentang setuju atau tidak setuju terhadap kehendak MPR untuk mengubah UUD'45.
BACA:
Presiden Tiga Periode, Demokrasi Diambang Kiamat
Sedangkan persepsi publik tentang apakah jabatan Presiden Jokowi bisa diperpanjang menjadi 3 (tiga) periode, sejumlah lembaga survei sudah lakulan survei dan telah mengumumkan hasilnya bahwa mayoritas rakyat Indonesia dan beberapa Partai Politik menolak jabatan Presiden Jokowi menjadi 3 (tiga) periode.
REFERENDUM TIDAK DIKENAL UUD'45.
Selama kekuasaan politik otoriter Orde Baru berkuasa, hampir tidak ada celah bagi kekuatan politik manapun, termasuk MPR RI yang berani mengajukan usul untuk mengamandemen UUD'45. Bahkan untuk memperkuat benteng pertahanan UUD'45, telah dikeluarkan TAP MPR No. IV Tahun 1983 Tentang Referendum dan UU No. 5 Tahun 1985, Tentang Referendum.
baca:
Tujuannya untuk memperkokoh kekuasaan Orde Baru dengan cara mempersulit amandemen terhadap UUD'45, terutama terhadap pasal-pasal tentang masa jabatan Presiden yang nampak "tidak tak terbatas" (unlimited), akibatnya kita hanya berada dalam demokrasi yang semu.
Karena itu salah satu agenda Reformasi 1998, adalah mengamputasi rezim Referendum dengan TAP MPR No.VIII/ MPR/1998, Tentang Pencabutan TAP MPR No.IV/MPR/1983 Tentang Referendum, disusul dengan UU No. : 6 tahun 1999, Tentang Pencabutan UU No.: 5 Tahun 1985 Tentang Referendum, yang secara tegas mencabut dan menyatakan tidak belaku lagi UU No. 5 Tahun 1985.
Mengapa ketentuan tentang Referendum dicabut, TAP MPR No.IV/MPR/1983 dan UU No.5 Tahun 1985 Tentang Referendum dipandang tidak sejalan dengan semangat, jiwa dan prinsip perwakilan yang telah diamanatkan UUD'45 bahkan tidak dikenal dalam UUD'45, sehingga secara hukum Referendum tidak memiliki legitimasi untuk mengubah UUD'45.
Pertanyaannya untuk kepentingan siapa Komite Referendum NTT dibentuk, apa yang hendak dilakukan oleh Komite Referendum, dan seberapa besar kemampuan masyarakat NTT dapat mengubah persepsi rakyat Indonesia untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi menjadi 3 (tiga ) periode.
**)PETRUS SELESTINUS, KOORDINATOR TPDI & KETUA PRESIDIUM KONGRES RAKYAT FLORES
TAG#PETRUS SELESTINUS, #UUD45, #REFRENDUM, #COVID19
198730583
KOMENTAR