Komunitas Anak Bangsa Sebut Anies Sebagai Kepala Daerah Paling Konyol

Jakarta, Inako
Daerah yang telah menyediakan anggaran dan mempunyai pengalaman mengatasi bencana, seperti banjir, namun kepala daerahnya tidak mau bertindak untuk mencegah terjadinya bencana, maka dia pantas disebut sebagai kepala daerah yang paling konyol.
Pernyataan diungkapkan oleh Riza Primahendra, Direktur Amerta, yang bergabung dalam kelompok Komunitas Anak Bangsa (KAB), di Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Komunitas Anak Bangsa yang menghimpum aktivis lingkungan, sejumlah pengacara, dosen, media, korban banjir DKI Jakarta, berencana menggugat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan karena dianggap lalai dan tidak mau bertindak untuk mencegah terjadinya bencana banjir di Jakarta yang mengakibatkan kerugian hingga triliunan rupiah, korban meninggal, dan non material lainnya.
Menurut Riza, Undang-undang yang dijadikan dasar sebagai gugatan terhadap Anies Baswedan adalah UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, khusnya Pasal 8 dan 9. Dan UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Anies dianggap lalai dan tidak mau bertindak sebagai kepala daerah meminimalkan risiko bencana. UU tersebut sudah memberikan tugas kepada kepala daerah dan diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan mengurangi risiko bencana.
Adapun UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 8 berbunyi:
Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum;
b. Perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. Pengurangan risiko bencana dan panduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; dan
d. Pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang memadai.
Menurut Riza, yang dimaksukan dengan standar minimum dalam huruf (a) adalah ketersediaan sandang, pangan, papan, dan kesehatan. Kemudian poin (b) terkait dengan kebijakan pemerintah daerah merelokasi warga dari daerah aliran sungai (DAS).
“Kita melihat bahwa ketika Pemda tidak memindahkan masyarakat dari daerah aliran sungai (DAS), maka sebetulnya tidak ada perlindungan dari Pemda, justru yang terjadi adalah penjerumusan karena membiarkan masyarakat tetap tinggal di DAS. Atau kalau kita sudah tahu bahwa daerah itu akan terjadi banjir kalau hujan, tetapi tidak dilakukan tindakan pencegahan dengan membuat kanal, normaliasi, bendungan dan semacamnya, maka itu berarti masyarakat tidak dilindungi,” tegas Riza kepada Inakoran.com.
Terkait dengan poin c (ketiga), Riza mengatakan bahwa DKI Jakarta sebenarnya sudah mempunyai panduan dan pengalaman dalam mengurangi risiko banjir. Tetapi persoalannya adalah apakah sudah melaksanakan atau tidak. Padahal UU sudah memberikan amanat kepada Kepala Daerah untuk membuat kebijakan mengurangi risiko bencana.
“Kita semua tahu, justru rencana program pembangunan untuk mengurangi dampak bencana ditunda dan bahkan dibatalkan, baik sodetan, pembebasan lahan dan segala macamnya dibatalkan,” tambahnya.
Poin (kempat) terkait pengalokasian dana untuk penanggulangan bencana. “Dana yang dialokasikan untuk mengurungi risiko bencana justru dipotong. Jadi singkat ceritanya mengapa kita menggunakan pasal 8 ini. Karena kita melihat ada beberapa hal yang diabaikan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta. Sementara di dalam UU itu dijelaskan adanya wewenang yang diberikan kepada Kepala Daerah.
Selain itu, Riza menambahkan UU No. 24/2007, Pasal 9 juga bisa digunakan sebagai dasar hukum untuk menggugat Anies Baswedan sebagai kepala daerah.
Pasal 9:
Wewenang Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan penanggulana bencana meliputi:
a. Penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah.
b. Penetapan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana.
c. Pelaksanaan kebijakan kerjasama dalam penanggulangan bencana dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain.
d. Pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya.
e. Perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya alam, yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya.
f. Pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala provinsi, kabupaten kota.
Isi pasal ini, kata Riza, mengungkapkan secara jelas terkait tugas dan wewenang yang dimiliki kepala daerah.
“Kalau tugas tidak dilaksanakan karena tidak diberikan kewenangan, maka ini jelas masalahnya berbeda. Namun, UU ini secara jelas diberikan tugas dan kewenangan. Tetapi ternyata kewenangannya tidak dipergunakan dengan semestinya,” tambahnya.
Selain itu, Riza juga menyoroti UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai dasar hukum untuk mengajukan gugatan
(ayat 1) Urusan Pemerintahan wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. Pendidikan
b. Kesehatan
c. Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
d. Perumahan rakyat dan kawasan permukiman
e. Ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat dan sosial
Menurut Riza, undang-undang ini mengamanatkan bahwa penataan ruang, Pekerjaan Umum, pendidikan menjadi urusan pemerintah daerah. Tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat.
“Pertanyaan saya adalah apakah tugas ini sudah dilaksanakan secara maksimal? Kita tahu saat ini Pemeritah DKI mempunyai prioritas yang berbeda. Penataan ruang, dan pekerjaan umum tidak lagi menjadi prioritas yang dikerjakan oleh pemerintah DKI sebagaimana diamanatkan oleh UU No 23/2014” tegasnya.
Maktris Penilaian
Riza mengakui bahwa tidak sulit untuk mengukur kinerja seorang kepala daerah dalam upaya mengurangi risiko bencana dengan matrik berikut ini.
Pertama, kalau sebuah pemerintrah daerah itu tidak mempunyai anggaran dan juga tidak punya pengalaman dalam mengelola bencana, sehingga kepala daerah yang memimpin daerah tersebut tidak dapat bertindak, maka masyarakat bisa memahaminya.
Kedua, kalau daerah tersebut tidak menyediakan anggaran dan juga tidak punya pengalaman, tetapi kepala daerahnya justru bertindak, maka dia patut diapresiasi.
“Meski tidak ada dana dan tak punya pengalaman, tapi dia mencoba, misalnya dia mengalihkan anggaran dan mengajak masyarakat gotong royong. Ini patut diapresiasi,” tegasnya.
Ketiga, kalau anggaran tersedia dan pengalaman ada, dan kemudian kepala daerahnya bertindak, maka ini tidak ada cerita lagi. Ini yang terjadi di Semarang dan Surbaya. Kepala daerah cepat bertindah, sehingga bencana banjir bisa diatasi.
“Keempat, yang paling konyol kalau anggaran dan pengalaman tersedia, tetapi kepala daerahnya tidak bertindak. Ini kepala daerah yang paling konyol dan paling jahat,” tegas Direktur Amerta tersebut.
TAG#Komunitas Anak Bangsa, #Banjir, #DKI Jakarta, #Riza Primahendra
198737304
KOMENTAR