Korupsi, Ibarat Penyakit Kronis Yang Sulit Untuk Sisembuhkan

Binsar

Monday, 28-08-2023 | 16:44 pm

MDN
Herman Hemmy, Bakal Calon Bupati Manggarai Timur, NTT [dokumentasi peribadi]

 

Oleh: Herman Hemmy

(Bakal Calon Bupati Manggarai Timur)

 

 

Korupsi di Indonesia ibarat penyakit kronis yang tidak mudah untuk disembuhkan. Tiap hari, masyarakat disuguhi beragam berita korupsi yang terjadi hampir di semua Badan Publik, seperti Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.

Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Pengadilan, sangat sulit melepaskan diri pengaruh sikap koruptif. Berbagai upaya dilakukan, tetapi kekuatan roh korupsi begitu dasyat, sehingga untuk menghapusnya nyaris mustahil.

Ada tindakan-tindakan koruptif yang kita bisa lihat dan rasakan, tetapi kita tak mampu untuk menghentikannya.

Ada korupsi yang terungkap dan koruptornya tertangkap, tetapi lebih banyak yang tidak diungkap, meski sebenarnya mudah, karena bisa ditelusuri. Salah satu caranya, adalah mendorong DPR supaya segera mensahkan UU pembuktian terbalik.

Dalam konteks Nusa Tenggara Timur, cerita korupsi seakan dianggap sebagai berita yang  biasa, karena masyarakat juga sepertinya sudah jenuh mendengarnya. Ini hal yang sangat miris, lantaran hal itu terjadi di daerah yang mayoritas masyarakatnya masih miskin. Para pelaku korupsi tampaknya sudah kehilangan sense of crisis.

Khusus untuk Manggarai Timur, ada kesan kontrol media terhadap pelaku korupsi lemah. Dari informasi yang saya dapat, ada oknum wartawan yang tampaknya sudah “diternak” pihak tertentu, sehingga matanya buta untuk melihat tindakan korupsi di sekitarnya. Perasaan dan naluri sebagai jurnalis yang tajam dan sangat pro kemanusiaan dan keadilan, tampaknya sudah hilang.

Kasus Terminal Kembur, bisa diangkat sebagai contoh. Dalam kasus ini, kejahatan negara terhadap rakyatnya sangat kasat mata. Selain itu, kasus korupsi juga terjadi dalam peristiwa lain, seperti pembangunan jembatan, jalan raya, penggunaan dana Covid-19 dan sebagainya. Di berbagai kasus tersebut, para koruptornya kelihatan sakti-sakti.

Korupsi itu ibarat sejenis penyakit kronis dalam masyarakat. Dalam tulisan pendek ini, saya tidak membahas atau meneliti kasus korupsi secara ilmiah. Akan tetapi, dari beberapa buku yang membahas korupsi, seperti: Corruption, ethics and integrity oleh Adam Greyear, Profiles in Corruption, oleh Peter Scheweler, dan Understanding and Preventing Corruption oleh Adam Greyear, saya menarik dua kesimpulan yang dinilai penyebab dan cara untuk mencegah korupsi, yaitu:

Pertama, transparansi anggaran. Pemerintah didesak untuk transparan dalam menyusun anggaran negara untuk pembangunan. Dalam konteks ini, peranan masyarakat dan media sangat vital untuk mengawasi penggunaan anggaran.

Para aktivis dan LSM mesti rajin mengadvokasi masyarakat agar mereka memahami bahwa anggaran negara itu berasal dari uang rakyat yang terkumpul dari pajak-pajak yang mereka bayarkan tiap tahun.

 

 

Kedua, mengurangi biaya politik. Fakta menunjukkan, seorang kandidat kepala daerah atau seorang calon anggota legsilatif, biasanya mengeluarkan dana yang besar untuk membiayai proses politik mereka.

Dari informasi yang diterima penulis, seorang calon kepala daerah di Matim bisa mengeluarkan uang pribadi minimal 20 miliar rupiah untuk membiayai pencalonannya. Uang itu biasanya diberikan kepada partai politik, untuk sosialisasi, kepada tim sukses dan kepada para tokoh masyarakat, serta para pemilih.

Karena mengeluarkan uang sebesar itu, maka tidak heran, jika setelah terpilih, kepala daerah bersangkutan akan berusaha untuk mengembalikan modal politik yang telah ia keluarkan selama proses pemilihan. Kondisi inilah yang mendorong kepala daerah untuk mengambil uang yang bukan haknya. Meminjam istilah Rocky Gerung “tugasnya ke rakyat udah lunas”.

Jadi kalau untuk satu jabatan dalam lima tahun keluar 20 miliar berarti tiap tahun mesti kembali 4 miliar plus bunganya.

Secara umum, korupsi di seluruh Indonesia adalah suatu tindakan kolaborasi berangkai. Kalau tidak korupsi mana mungkin punya tabungan miliaran setelah pensiun. Dan kalau tidak korupsi, mana mungkin punya rumah atau apartemen di Jakarta atau Bali.

Partai politik, idealnya mesti mendidik masyarakat pemilih supaya tidak meminta uang ke kandidat. Partai juga mesti mulai mensponsori kader yang memiliki integritas dan berkualitas.

 

 

 

 

KOMENTAR