Madrid dan Siklus itu, Valencia dan Sisi Lain Keindahan Sepak Bola

Binsar

Tuesday, 10-11-2020 | 13:45 pm

MDN
Benzema bersama rekan-rekannya merayakan golnya ke gawang Valencia [ist]

 

 

 

Ulasan Sepakbola, Oleh: Tommy Duang

 

Mataloko, Flores, Inako

Madrid dibantai 4-1 di Mestalla. Satu gol bunuh diri Varane, tiga gol Soler dari titik putih. Para pembenci Madrid, yang kerap menggunakan standar moral dalam menilai hasil sebuah pertandingan sepak bola, ramai-ramai menulis di dinding facebook: “Sudah pernah lihat contoh nyata karma? Ini salah satunya: Valencia 4-1 Madrid.”

Dalam situasi-situasi tertentu, seperti saat ini misalnya, saya tergoda mendebat olokan-olokan murahan semacam itu. Apakah tim sekelas Real Madrid sama sekali tidak memiliki hak mendapatkan penalti atas pelanggaran dalam kotak yang mereka derita? Apakah setiap penalti yang Madrid dapatkan selalu lahir dari keberpihakan wasit?

Akan tetapi ini bukan saat dan ruang yang tepat untuk melayani olokan-olokan semacam itu. Saya ingin menulis sesuatu yang lebih terus-terang: peristiwa naas di Mestalla dini hari Senin (09/11/2020) adalah siklus biasa dalam sepak bola. Baik Madrid maupun klub bola mana pun di muka bumi, dari Atletico Ultramas sampai Barcelona, berada dalam siklus yang sama: siklus melampaui kegagalan.

Wasit kembali menunjuk penalti usai Marcelo (duduk) melanggar Maximiliano Gomez [ist]

 

Pada Madrid, siklus itu amat terang benderang. Dua kali tumbang di Alfredo di Stefano, berjaya di Camp Nou.  Berbagi angka dengan Borussia M’gladbach, meraih poin penuh dalam partai melawan Internazionale. Membantai Huesca 4-1, dipermalukan Valencia dengan angka yang sama.

Gol bunuh diri Varane—ini cukup sering—dan tiga penalti Soler sama sekali bukan karma apalagi bukti keberpihakan wasit pada tuan rumah. Madrid pantas mendapat tiga hukuman itu dan Valencia bukan anak emas wasit. Sesederhana itu. Empat kesalahan, empat gol dan kehilangan tiga angka. Begitulah cara Madrid dikalahkan, begitulah cara dunia sepak bola melayani siklus biasa itu.

Apa yang ditunjukkan Valencia dalam pembantaian masal di Mestalla hampir serupa dengan yang ditunjukkan Barcelona ketika mereka dibantai di Camp Nou dalam El Clasico terakhir. Dua-duanya menunjukkan satu hal yang sama, yaitu Keindahan.

Dalam dunia sepak bola, ada dua jenis keindahan. Pada sisi pertama, ada keindahan mengolah bola. Ini sudah banyak dikenal dan sering diidentikkan dengan Barcelona dan Messinya.  

Pada sisi lain, keindahan itu terletak pada kemampuan melahirkan kejutan. Kejutan, kata Mahfud Ikhwan—seorang analis bola di belakanggawang.blogspot—adalah nama tengah sepak bola. Sama seperti dalam kehidupan harian, kejutan dalam sepak bola disukai dan sulit dilupakan karena tidak sering terjadi dan karena pada umumnya menyukai kejutan adalah sifat hakiki manusia.

Eduardo Galeano pernah berujar, “Keindahan sepakbola juga terletak pada kemampuannya untuk mengelak yang dikira, menolak yang disangka. Sepakbola menyajikan apa yang tidak kita bayangkan.” Yang tak terbayangkan itu bernama kejutan dan kejutan hampir pasti selalu berusia panjang, bahkan ada yang menjelma menjadi abadi.

Madridista tidak akan pernah melupakan sundulan Ramos ke gawang Atletico Madrid pada final Liga Champions 2013/2014 di Lisbon. Cules akan selalu ingat keajaiban di Camp Nou dalam leg kedua enam belas besar Champions Eropa 2016/2017 ketika menghentikan langkah PSG yang pada leg pertama menang 4-0. Atau para penggemar Muenchen yang mustahil melupakan kemenangan 8-2 atas Barcelona di Estadio da Luz.

Keindahan, misalnya dalam ketiga contoh di atas tidak terletak pada bagaimana permainan itu berjalan, tetapi pada kemampuannya menghadirkan ending yang tak tertebak. Kita tidak pernah menyangka bahwa akhir pertandingan akan menjadi sebegitu rupa indahnya.

Keindahan semacam itulah yang ditunjukkan Valencia ketika mengalahkan Madrid di Mestalla. Siapa yang pernah memprediksi bahwa Valencia akan menang melalui satu gol bunuh diri dan tiga tendangan penalti? Ini tidak biasa dan karenanya mengejutkan.  

Blunder Varane berujung gol bunuh diri [ist]

 

Dalam era industrialisasi sepakbola, ketika klub-klub kaya kian rakus menampung pemain-pemain hebat, sepakbola menjadi kian rutin dan minim kejutan. Ketika Juventus, Bayer Munich, Real Madrid, PSG atau Barcelona hendak berlaga, orang-orang akan dengan sangat gampang memprediksi bahwa klub-klub ini akan keluar sebagai pemenang. Kepastian-kepastian semacam inilah yang membuat orang lebih tertarik, misalnya menonton Liga Inggris ketimbang Liga Italia, Liga Jerman atau bahkan Liga Spanyol.

Pada situasi seperti ini, banyak penggemar bola—termasuk saya sendiri—merindukan kejutan seperti yang terjadi di Mestalla pada Senin (09/11/2020) dini hari. Saya tidak ingin itu terjadi pada Madrid, tetapi demi kebaikan Madrid atau kebaikan sepakbola itu sendiri kejutan semacam ini perlu terjadi. Selain menjaga tingkat “kesengitan” rivalitas di papan klasemen, kejutan ini juga perlu untuk menjaga sisi lain keindahan dunia sepak bola: yaitu kemampuannya menaklukkan kemustahilan. 

KOMENTAR