Mahasiswa Tolak Revisi UU No. 30 tentang KPK

Sifi Masdi

Monday, 09-09-2019 | 20:11 pm

MDN
Gedung KPK [ist]

Jakarta, Inako

Rencana DPR merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau revisi UU KPK mendapat penolakan dari banyak kalangan. Tak cuma dari pegiat antikorupsi, belakangan ratusan guru besar dan dosen lintas universitas serta organisasi masyarakat berbasis agama ikut buka suara menolak revisi tersebut.

Sebanyak 37 guru besar lintas kampus menyatakan revisi beleid itu harus batal demi hukum. Guru besar yang di antaranya adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan mantan Komisioner KPK Haryono Umar menganggap revisi itu bakal melemahkan kewenangan KPK dan merusak keorganisasian di KPK.

“Melihat ancaman kepada KPK yang terstruktur, sistematis dan masif maka kami guru besar Indonesia menolak upaya revisi UU KPK,” dikutip dari keterangan tertulis, 7 September 2019.

Para guru besar juga menganggap rencana revisi UU tersebut cacat prosedur karena tidak mengikuti UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa penyusunan RUU harus dilakukan berdasarkan Program Legislatif Nasional. Sementara revisi UU KPK tidak masuk dalam Prolegnas atau RUU prioritas.

Suara penolakan juga datang dari 107 pengajar dari Universitas Islam Indonesia. Ratusan dosen UII menganggap pembahasan RUU KPK tidak transparan dan tidak melibatkan publik. Selain itu, isi revisi dinilai juga melemahkan KPK. Kami dosen UII menentang setiap upaya pelemahan KPK.”

Dari Surabaya, Jawa Timur, 36 akademisi Universitas Airlangga menganggap revisi UU KPK menunjukkan kemunduran upaya pemberantasan korupsi. Pengajar Fakultas Hukum Unair, Iqbal Felisiano mengatakan pelemahan upaya pemberantasan korupsi dilakukan secara sistematis.

Tak hanya lewat revisi UU KPK, tapi juga lewat RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan pemilihan calon pimpinan KPK yang bermasalah, serta kegagalan pengungkapan terhadap kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.

Iqbal mengatakan pemerintah dan DPR harusnya tidak mengorbankan kepentingan masyarakat demi kepentingan segelintir kelompok. Wakil rakyat, kata dia, seharusnya menjadi representasi memperjuangkan kemaslahatan publik.

“Pemimpin yang berpikir dan bekerja sungguh-sungguh untuk menjamin dan melindungi hak-hak warga negara,” ujar Iqbal dalam keterangan tertulis, 8 September 2019.

Guru besar ilmu hukum Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho mengatakan revisi UU KPK tidak menunjukan upaya memperkuat KPK. Menurut dia, sejumlah pasal yang ada dalam draf revisi justru menghambat pemberantasan korupsi. Misalnya, pembentukan dewan pengawas yang berwenang memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Dia bilang hal itu bakal memperpanjang alur birokrasi penindakan korupsi. Apalagi dalam draf revisi UU, KPK juga harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung ketika melakukan penuntutan.

Ia juga mempersoalkan status penyelidik yang harus berasal dari kepolisian. Poin ini janggal lantaran KPK didirikan atas ketidakpercayaan terhadap institusi tersebut. “Jika penyelidik dari polisi bisa memperkuat pemberantasan korupsi, kenapa mereka tidak memperkuat insantsinya saja,” kata dia.

Dari Depok, suara penolakan serupa datang dari alumni Universitas Indonesia. Ketua Ikatan Alumni UI Andre Rahadian mengatakan proses revisi UU KPK sama sekali tidak melibatkan partisipasi publik dan tidak mewakili aspirasi masyarakat.

Andre mencatat ada 8 poin bermasalah dalam draf RUU KPK yang disahkan pembahasannya oleh DPR pada 5 September lalu. Di antaranya, independensi KPK terancam, penyadapan dipersulit, sumber pegawai dibatasi, dan kewenangan menangani perkara yang mendapat perhatian publik dicoret.

Andre mengatakan alumni UI menolak revisi UU KPK dan semua upaya yang melemahkan pemberantasan korupsi. Ia juga meminta Presiden Jokowi menolak revisi itu. “Sebagai sikap keberpihakan terhadap KPK dan upaya pemberantasan korupsi,” kata dia.

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Belanda menolak revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002. Mengutip Ketua Pengurus Besar NU, Ketua Tanfidziyyah PCINU Belanda M. Latif Fauzi menuturkan melawan korupsi adalah perjuangan di jalan Allah atau jihad fi sabilillah.

"Dalam situasi seperti sekarang ini, perang melawan korupsi bisa dipadankan dengan jihad fi sabilillah," kata Latif dalam keterangan tertulis, Ahad, 8 SeptemberI2019.

Latif berkata pembentukan KPK pada 2002 merupakan peluang emas pada bangsa Indonesia untuk membersihkan pemerintah dari praktik korupsi. KPK, kata dia, sudah terbukti berhasil dengan menangkap 255 anggota DPR dan DPRD, serta kepala daerah dan lainnya.

Menurut Latif tindakan KPK itu sesuai dengan ajaran Islam yakni demi mencapai kemaslahatan umat. Secara khusus, ia mencermati peran KPK dalam pemberantasan korupsi di bidang sumber daya alam. Ia mengatakan KPK berhasil menyelamatkan triliunan rupiah dari penindakan terhadap korupsi sektor SDA. "Serta berperan penting dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup," kata dia.

Latif mengatakan ia mengamati isi revisi UU KPK. Menurut dia, perubahan dalam RUU tersebut justru akan membuat KPK mati suri. Selain itu, Latif mengatakan rencana perubahan juga dilakukan dan tidak sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dia mengatakan sikap NU terhadap korupsi sudah pernah dipublikasikan dengan judul 'Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi'. Dalam kajian itu, kata dia, NU bersepakat untuk memperkuat lembaga antikorupsi, melindungi semua pihak yang melakukan jihad melawan korupsi dan menghentikan kriminalisasi terhadap pegiat antikorupsi.

Karena itu, ia meminta DPR menghentikan rencana revisi UU KPK. Ia juga berharap Presiden Joko Widodo menolak revisi tersebut. Dan mengajak semua pihak mendengar masukan ulama dan akademisi demi memperkuat KPK.

KOMENTAR