Mahfud dan Effect Distorsi Gibran dalam Debat

Oleh : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Tentang debat cawapres serial kedua yang dilaksanakan KPU RI (21 Januari 2024) Mahfud MD sampai pada kesimpulan bahwa "mas Gibran dilatih untuk mempermalukan saya", ujarnya (CNN, 24/1/2024).
Artinya cara "pongah" Gibran "by desgn", sengaja dirancang dan dilatih untuk mempermalukan lawan debat di panggung besar secara nasional.
Teddy Roselvert, Presiden AS (awal abad 20) pernah "mengingatkan" bahwa "podium" atau "mimbar debat" bagi calon pimpinan eksekutif di negara demokratis bisa menjadi "the bully pulpit", yakni mimbar pengganggu.
Sayangnya Gibran melakukan hal hal di atas di negara Indonesia dengan "adat tinggi ketimuran", di negara Pancasila bersendikan "kemanusiaan yang adil dan beradab".
Kawan intelektual dan penulis, saudara Miqdad Husein menarasikan di media "tik tok" bahwa "Tuhan mboten sare, tuhan telah membuka topeng dan watak asli Gibran yang diagung agungkan sebagian masyarakat dalam acara debat cawapres", ujarnya.
Reaksi publik memang dalam trend positif terhadap Mahfud di berbagai lini masa baik di media publik, media sosial, podcast dan lain lain. Wibawa intelektualitasnya menuntun gagasannya secara artikulatif dan "sabar" menghadapi lawan debat.
Harian "kompas", harian paling berpengaruh dalam ruang opini publik "mengganjar" Mahfud MD sebagai "penampil" dengan performa terbaik dalam serial debat kedua tersebut.
Di sisi lain Gibran tampil dengan meletakkan "mimbar debat" tersebut sebagai "the bully pulpit" yang dimaksud Roselvet di atas, yakni "mimbar pengganggu".
GibranTampil dengan etika publik rendah, "clingak clinguk", mengajukan pertanyaan "menjebak" dengan "gestur" merendahkan Mahfud MD sebagai lawan debat di panggung besar dan terhormat.
Performa dan tampilan dua cawapres, Mahfud MD dan Gibran, di atas dalam persepsi publik terutama bagi generasi milenial dan generasi "Z" (51% pemilih) tentu memiliki effect elektoral yang berbeda.
Dua generasi dalam kategorisasi usia (24 s.d 39 tahun) tersebut menurut penelitian "Boston Consulting Group" meskipun bercirikan "no gadget no life", sangat tergantung dengan smartphone dan "instan" tapi "lebih" menyukai kompetisi secara "fairplay".
Itulah ruang "elektoral" seharusnya digarap lebih militan dan sistemik oleh "timses" Ganjar Mahfud MD di basis basis rumpun pemilih milenial dan "gen-z" di sisa waktu menjelang hari "H" pencoblosan, 14 Pebruari 2024 tanpa "abai" pada basis basis elektoral garapan lama.
Selain mereka (dua generasi di atas) relatif tidak "tunduk" pada gempuran "bansos" dan populasi pemilihnya sangat besar, juga sangat "frendly" disentuh dengan media sosial secara kreatif untuk diviralkan.
Penulis sungguh percaya (dalam agama dan hukum universal) bahwa setiap yang "attakasur", berlebih lebihan, pongah dan songong - ujungnya adalah "maqobir", kuburan bagi "karier politik" seseorang.
Wassalam.
TAG#ADLAN, #GANJAR MAHFUD
190215212
KOMENTAR