Mantan CEO Google Prediksikan Internet Bakal “Terbelah Dua”

Sifi Masdi

Tuesday, 25-09-2018 | 21:50 pm

MDN
Mantan CEO Google Eric Schmidt [ist]

 

"Mantan CEO Google Eric Schmidt meramalkan perkembangan dunia internet kedepan akan terbelah dunia. Ia mengatakan dunia internet nanti akan dikuasai oleh China di satu sisi dan Amerika Serikat di sisi lainnya."

 

Jakarta, Inako

Saat ini internet – sebagai sebagai penghubung antar-komputer untuk penelitian - sudah berkembang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia modern di era digital.  Seperti apa masa depan jaringan global yang menyambungkan jutaan perangkat dari berbagai jenis itu?

Mantan CEO Google Eric Schmidt memprediksi bahwa sebuah perubahan bakal terjadi di internet. Saat berbicara dalam sebuah acara tertutup yang digelar firma investasi Village Global VC di San Francisco, AS, Schmidt meramal bahwa internet dunia akan terbelah dua dalam satu dekade ke depan.

“Saya pikir skenarionya bukan terpecah, tapi bercabang menjadi internet yang dipimpin oleh China dan internet non-China yang dipimpin oleh Amerika Serikat,” ujar Schmidt, sebagaimana seperti yang dilangsir  oleh  CNBC, Sabtu (22/9/2018).

Schmidt menyoroti potensi ekonomi luar biasa yang dibangun oleh China lewat internet. Internet China, katanya memberi contoh, menyumbang persentase lebih besar terhadap Produk Domestik Bruto (GDP) negera itu ketimbang kontribusi internet AS terhadap GDP AS.

“Lihatlah BRI -Belt and Road Initiative- mereka yang menghubungkan 60-an negara. Negara-negara yang terlibat kemungkinan akan memakai infrastruktur yang dimiliki oleh China,” lanjut Schmidt.

Belt and Road adalah inisiatif yang dijalankan oleh Beijing untuk meningkatkan pengaruh ekonomi dan politik China dengan menghubungkan serta mamfasilitasi segala jenis perdagangan, termasuk perdagangan digital, antara China dengan negara-negara Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan Asia. Sensor demi China?

China sendiri dikenal memiliki industri digital yang didominasi oleh pemain-pemain dalam negeri, seperti penyedia pesan instan WeChat, media sosial Weibo, search engine Baidu, publisher dan developer software Tencent, hingga raksasa e-commerce Alibaba.

Berbeda dari jaringan internet di bagian dunia selebihnya, di China tidak ada layanan online populer asal AS seperti Facebook, Instagram, atau Twitter. Google sendiri pun bahkan tidak beroperasi di sana.

Para pemain global asal Negeri Paman Sam itu bukannya tak mau beroperasi di China. Kebanyakan dari mereka tersandung mekanisme kontrol ketat yang diterapkan oleh pemerintah China di internet.

Belakangan, Google dikabarkan mengembangkan “Project Dragonfly”, yakni versi search engine besutannya yang khusus ditambahi fitur sensor, supaya bisa sejalan dengan kemauan pemerintah China.

Beberapa hasil pencarian yang dinilai sensitif, misalnya, tidak ditampilkan di laman pertama. Ada juga beberapa topik yang hasil pencariannya tak ditampilkan sama sekali, misanya soal “protes damai”. Harapannya, Google bisa diterima kembali di China setelah hengkang pada 2010 lalu.

Kembali ke soal terbelahnya internet, Schmidt khawatir bagian internet yang dipimpin China akan mengikuti perlakuan negeri tersebut.

“Bahayanya, aneka produk dan layanan online itu bisa senada dengan kebijakan pemerintah (China), dengan sensor, kontrol, dan lain-lain,” katanya.

Schimdt menjabat sebagai CEO Google dari 2001 hingga 2011. Dia kemudian didapuk sebagai executive chairman Google, lalu di Alphabet -perusahaan induk Google- hingga awal tahun ini.

 

 

 

 

KOMENTAR