Masyarakat Penyandang Disabilitas Tolak Rancangan Perpres KND Karena Pembahasan Tidak Transparan dan Tak Partisipatif

Sifi Masdi

Friday, 06-12-2019 | 21:24 pm

MDN
Ilustrasi penyandang disabilitas [ist]

Jakarta, Inako

Pembahasan Rancangan Peraturan Presiden tentang Komisi Nasional Disabilitas (RPerpres KND) yang diinisiasi oleh  Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) dinilai tidak transparan dan tidak partisipatif. RPerpres merupakan perintah dari Pasal 134 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas).

Pernyataan ini diungkapkan oleh Koalisi Nasional Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat (6/12/2019). Mereka sepakat  menolak Perpres KND tersebut karena KemenPANRB tidak pernah secara resmi menyebarluaskan draft RPerpres KND. Bahkan ada penolakan ketika perwakilan Pokja datang ke KemenPANRB untuk meminta draft RPerpres, dan dikatakan bahwa draft sudah di Sekretariat Negara, sehingga silahkan meminta langsung kepada Sekretariat Negara.

Simak video InaTv dan jangan lupa klik "subscribe and like" menuju Indonesia maju.

 

Mereka menambahkan bahwa Pokja baru mendapatkan draft terakhir dari pihak lain atas upaya sendiri. Dengan begitu pemerintah melanggar ketentuan Pasal 180 Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mengatur bahwa instansi pemrakarsa pembentuk Perpres wajib menyebarluaskan Rancangan Perpres kepada publik.

“Pembahasan RPerpres juga tidak partisipatif. Pokja sempat diundang dalam pembahasan satu kali pada awal tahun 2019. Pada pertemuan itu ada beberapa hal yang disepakati, tetapi ada satu hal yang masih akan dibahas lebih lanjut, yaitu terkait dengan posisi dan kedudukan KND. Draft dari KemenPANRB saat itu menempatkan KND melekat secara administratif kepada Kementerian Sosial (Kemensos),” tegas Pokja tersebut dalam keterangan tertulis yang diterima Inakoran.com, Jumat (6/12/2019).

Pokja menambahkan bahwa pihaknya tidak sepakat dengan konsep tersebut berdasarkan 2 alasan, yaitu pertama, UU Penyandang Disabilitas telah mengubah paradigma terhadap isu disabilitas menjadi pendekatan hak asasi manusia dibandingkan pendekatan rehabilitas sosial saja. Oleh karena itu, Kemensos saat ini sudah tidak lagi bertanggung jawab secara tunggal atas urusan disabilitas di Indonesia. Kedua, selain karena perubahan perspektif terhadap disabilitas, Kemensos juga bukan leading sector dari isu disabilitas di Indonesia, karena tugas dan fungsi Kementerian Sosial dalam Perpres 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial adalah mencakup rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin; tidak ada khusus menyebut disabilitas.

Adapun interpretasi dari Pasal 1 angka 20 UU Penyandang Disabilitas adalah hanya untuk mendefinisikan istilah “Menteri” yang digunakan dalam Pasal tertentu, yaitu Pasal 118, 119, dan 120 (Pendataan), Pasal 120 (Kartu Penyandang Disabilitas), serta Pasal 129 (Koordinasi); sedangkan untuk Pasal lainnya, termasuk untuk KND menggunakan subyek “Pemerintah”, bukan “Menteri”.

Permasalahan lain dari RPerres KND, kata Pokja,  adalah terkait dengan jabatan Kepala Sekretaris KND hanya setingkat eselon III atau Jabatan Administrator yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Ketentuan itu menegaskan bahwa KND hanya lembaga setingkat dengan Direktorat dalam Kementerian, yang pimpinannya menempati jabatan eselon II.

“Seharusnya, jabatan pimpinan sekretariat di KND adalah sekretaris utama yang setara dengan eselon IA, atau minimal sebagai Kepala Sekretaris dengan jabatan eselon II. Posisi seperti itu menjadikan KND lemah dan berpotensi kehilangan statusnya sebagai lembaga nonstruktural yang bersifat independen berdasar Pasal 131 UU Penyandang Disabilitas,” tambah pernyataan tersebut.

Dengan jabatan pimpinan Sekretariat yang hanya setara eselon III, maka dapat dipastikan jabatan Pimpinan KND berada dibawah Menteri. Jabatan Pimpinan KND yang tidak setingkat Menteri sangat berpotensi KND tidak dapat memiliki kewenangan atau kekuasaan setara dengan Kementerian, sehingga tidak memiliki kuasa dalam menentukan program dan anggaran lembaga KND secara mandiri. Hal itu kontraproduktif dengan tujuan pembentukan KND, yaitu untuk melakukan fungsi pemantauan, evaluasi, dan advokasi. Ketiga fungsi itu hanya dapat berjalan efektif apabila lembaga bersifat independen, yaitu setara dengan Kementerian/lembaga yang akan dipantau, dievaluasi, atau diadvokasi terkait dengan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Dengan posisi saat ini, KND kemungkinan besar akan dilekatkan kepada Direktorat Rehabilitasi Sosial di Kementerian Sosial, yang akan semakin meneggelamkan isu disabilitas dengan pendekatan belas kasih.

Catatan terakhir terhadap RPerpres KND adalah dalam pengisian anggota KND, penyandang disabilitas ditempatkan hanya sebagai representasi dari ragam disabilitasnya saja, tetapi tidak dapat menjadi representasi dari profesi atau status sosialnya. Dalam Pasal 7 ayat (2) RPerpres KND disebutkan bahwa Anggota KND berjumlah 7 orang yang terdiri atas 4 anggota berasal dari unsur yang mewakili 4 ragam disabilitas; dan 3 anggota berasal dari unsur nonpenyandang disabilitas yang dapat berasal dari unsur akademisi, praktisi, professional, dan masyarakat. Ketentuan itu secara tegas menyatakan bahwa penyandang disabilitas tidak dapat masuk menjadi anggota KND dari jalur akademisi, praktisi, profesional, dan masyarakat. Seharusnya, ada dua jalur menjadi anggota KND, yaitu untuk mewakili ragam disabilitas dan mewakili latar belakang, tetapi tidak membatasi penyandang disabilitas untuk masuk melalui jalur berdasarkan latar belakang.

Berdasarkan hal tersebut, Koalisi Nasional Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas mendesak agar Presiden Republik Indonesia:

1. Menegur Menteri PANRB karena proses pembahasan RPerpres KND yang tidak transparan dan partisipatif.

2. Segera menyebarluaskan draft terbaru RPerpres tentang KND kepada publik dan melakukan uji publik sebagai bentuk proses pembentukan yang transparan dan partisipatif.

3. Mempercepat proses perumusan dan pengesahan RPepres tentang KND dengan tetap mengedepankan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam proses pembentukannya.

4. Menempatkan posisi pimpinan KND setara dengan Menteri, dan sekretariat dipimpin oleh Sekretaris Utama dengan eselon IA atau minimal sebagai kepala sekretaris dengan eselon II. Hal itu sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 131 UU Penyandang Disabilitas yang menempatkan KND sebagai lembaga nonstruktural dan independen.

5. Melekatkan KND secara administratif kepada KomnasHAM atau Kementerian Hukum dan HAM, dan tidak kepada Kemensos.

 

 


 

 

KOMENTAR