Membaca Ending Konflik Partai Golkar

Oleh. : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat
Jakarta, Inako
Ilegal atau tidak sah kah Musyawarah Daerah (Musda) partai Golkar Indramayu sebagaimana klaim Ade Ginanjar, Sekretaris DPD partai Golkar Jawa barat dalam press releasenya secara vulgar pasca pelaksanaan Musda partai Golkar Indramayu pada tanggal 16 Juli 2020 di Hotel Handayani Indramayu dan dihadiri lebih dari 50 persen, yakni 19 Pengurus Kecamatan (Pk) partai Golkar, pemilik suara sah dalam forum Musda partai.Golkar Indramayu di atas ?
Bagaimana kita menimbang posisi dan standing surat DPD partai Golkar Jawa Barat (sifat surat: "biasa") No.B. 32/GOLKAR/VII/2020 tentang penundaan Musda dalam konstruksi AD/ART partai Golkar dihadapkan secara "vis a vis" dengan surat instruksi DPP partai Golkar No. 3 tahun 2020 tentang persiapan, perencanaan dan pelaksaan Musda yang menjadi sandaran organisatoris pelaksanaan Musda tersebut ?
Penulis tentu tidak dalam posisi masuk dalam debat analisis problem yuridis dan peraturan partai Golkar terkait pertanyaan pertanyaan di atas termasuk kemungkinan apakah endingnya islah atau berlanjut ke ranah peradilan. Konflik partai Golkar di atas dalam kerangka teoritis Novri Susan dalam bukunya "Konflik Politik: Teori dan Analisa", tidak sederhana sekedar dibaca dalam konstruksi regulasi partai yang mengikatnya dalam.AD/ART melainkan berkait dengan relasi.kuasa struktural partai di atasnya.
Dalam konteks ini loby politik dan tukar tambah kepentingan memainkan peran untuk merubah alur cerita konflik dan kemungkinan endingnya akan tetapi jika loby politik dalam relasi kuasa di level struktural partai di atasnya tidak proporsional justru akan menjadi sumber konflik baru makin meluas dengan segala dampak turunan konfliknya sangat tajam dan keras. Fenomena nyaris konflik fisik antar pendudung di seputar kantor DPD partai Golkar Indramayu (jumat 21 Juli 2020) salah satu contoh dari relasi adu kuat antar blok kedua pihak yang berseteru di internal partai Golkar.
Di sinilah rumitnya membaca ending konflik partai Golkar di atas. Ibarat membaca novel "Negeri di ujung tanduk", karya Tere Liye, sebuah kisah tentang konflik politik relatif memiliki kesamaan dengan konflik partai Golkar dari sisi kerumitan alur ceritanya untuk dibaca kemungkinan endingnya. Out putnya sudah pasti partai Golkar, rejim penguasa politik nyaris tunggal selama 20 tahun terakhir di Indramayu menanggung kerugian besar dari wabah konflik ini terutama terkait konsolidasi penguatan basis basis elektoral partai Golkar menghadapi kontestasi pilkada Indramayu 2020.
Politik dalam perjalanan sejarah capaian peradaban manusia adalah instrument beradab dan jalan mulia untuk mengakhiri cara perang "adu kuat" bersifat penaklukan fisik dalam perebutan kekuasaan secara bar bar, primitif dan tak berbudaya. Partai Golkar (tentu saja termasuk partai partai politik lainnya) harus memaknai eksistensi dan keberadaannya bahwa partai politik adalah perangkat konstitusional, jalan etis dan cara beradab dalam kerangka proses kontestasi rekruitmen kepemimpinan dan suksesi kekuasaan politik.
Di sinilah tantangan bagi partai Golkar Indramayu dan relasi struktural partai di atas nya untuk mengakhiri konflik dalam makna politik secara generik dan substansial sebagai instrument etis dan jalan beradab. Semata mata menampilkan "adu kuat" loby politik secara kamuflatif, akal akalan ala "abu nawas" dan adu nyali "siapa berani" antar para pendukungnya secara fisik hanya menampilkan wajah politik jatuh nilai peradabannya dan ambyar kemulian martabatnya.
Penulis sungguh yakin bahwa partai Golkar dengan rekam jejak dan pengalaman politik yang panjang dan mapan mampu melewati konflik ini secara dewasa "suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan" dengan menjauhkan diri dari sikap (mengutip falsafah pak.Harto) "Adigang, adigung, adiguno" (sok kuasa, sok angkuh, sok sakti)
Semoga bermanfaat.
TAG#ADALAN
198732361

KOMENTAR