Membaca Konferwil NU Jawa Barat (BAG.  II)

Hila Bame

Wednesday, 08-09-2021 | 12:07 pm

MDN

 


Oleh. : Adlan Daie
Pemerhati/Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat.

JAKARTA, INAKORAN

Siapakah kandidat Rois Syuriah dan Ketua Tanfidhiyah yang "paling" berpeluang memimpin jam 'iyah Nahdatul Ulama Jawa Barat (NU Jabar) untuk masa khidmat lima tahun ke depan? Inilah pertanyaan tak terhindarkan pasca rapat pleno PWNU  Jabar tanggal 28 Agustus 2021 memutuskan Konferwil NU Jabar  ke XVIII  dilaksanakan pada tanggal 30 - 31 Oktober 2021 dengan pilihan tempat pelaksanaannya di sebuah hotel di kota Bandung.


Perhelatan Konferwil NU Jabar di atas memang layak dicermat. Bukan sekedar untuk mencari tahu jawaban atas pertanyaan di atas tetapi.tak kalah "sexi"nya dimensi tali temali politik yang "ikut bermain" di dalamnya tidak dapat diabaikan pengaruhnya sebagai variabel penentu hasil akhir konferwil terkait dalam konteks  kepentingan politiknya kelak di  pileg, pilpres dan pilgub 2024.


Itulah memang "takdir" NU,  mengutip Metsuo Nakamura, peneliti jepang yang sangat tekun mengamati NU sejak Muktamar ke 12 tahun 1979 di Semarang. Artinya, meskipun bukan organisasi politik tetapi faktanya NU adalah "kekuatan politik", selalu diperhitungkan  relasinya dari sisi dimensi politik elektoral. Sesuatu  yang harus "dinikmati" riang gembira ala "ger ger an NU" dan tidak perlu dirisaukan berlebihan.


Tulisan singkat bagian kedua ini (tulisan pertama dimuat di media online "inakoran" edisi 7 Juli 2021 dengan judul yang sama) sedikit memberikan "hightligt" dan dimensi timbangan sebagai berikut :


Pertama, Dalam perspektif penulis  keputusan Konferwil NU Jabar kali ini dilaksanakan di sebuah hotel di kota Bandung bukan sekedar untuk memastikan bahwa Konferwil berjalan sesuai kaidah protokol kesehatan di musim pandemi covid 19, lebih dari itu, adalah sebuah sikap "berani" keluar dari kekuatan tradisi kulturalnya, yakni pesantren yang selama ini menjadi pilihan utama tempat pelaksanaan konferwil.


Ini setidaknya  menandai bahwa NU Jabar telah siap merambah dakwah ke komunitas muslim perkotaan di luar  kekuatan akar kulturalnya tetapi sekaligus mencerminkan bahwa konferwil NU Jabar di mana di dalamnya akan berlangsung kontestasi pemilihan Rois dan ketua "dinetralkan" dari hegemoni poros politik tertentu sehingga perspektif dinamikanya lebih "seru" dan "asyik" dibaca nya.


Kedua, pertanyaan "sexi" nya siapa kah kandidat Rois dan ketua yang paling berpeluang terpilih terus terang penulis sulit menjawabnya bukan saja pemilik suara sah (hanya 28 suara) sulit dijangkau metode survey "popular vote" layaknya pilpres dan pilkada melainkan para pemilik suara adalah para tokoh NU di kab/kota sudah sangat dewasa untuk menentukan pilihan terbaiknya "liyabluakum ayyukum ahsana amala" bagi NU Jabar ke depan dengan segala timbangan relasi politik mutualistiknya.


Inilah menariknya suksesi internal di lingkungan jam iyah NU yang bagi orang "luar" dibacanya rumit dan gaduh. Maka, biarkanlah kontestasi berjalan sesuai AD/ART, tidak perlu ditambah pasal pasal  baru dalam tata tertib pemilihan yang berpotensi krusial kecuali bersifat teknis. 


NU sudah teruji  menerima siapa pun kelak yang terpilih baik secara musyawarah maupun voting dengan segala "dramatisasi politiknya" sebagaimana dulu terpilihnya Dr. Idham Kholid di ujung drama akhir Muktamar NU tahun1979 di semarang dan terpilihnya Gusdur di Muktamar NU baik di Situbondo tahun 1984 maupun di Cipasung tahun 1994.


Siapa pun kelak Rois dan ketua terpilih PWNU Jabar untuk masa khikmat lima tahun ke depan harus didukung seluruh anasir NU di Jabar karena tantangan yang dihadapinya tidak ringan, tidak sederhana dan sangat complicated. Diakhiri suasana kontestasi dan varian faksi faksi nya.

Temuan survey LIPI (2018) bahwa mayoritas muslim di jabar hanya 9% mengikatkan diri pada jam iyah NU dan 4% ke berbagai ormas Islam lainnya serta dalam konteks hasil dua kali pilpres terakhir di jabar menandai bahwa cara pandang kebangsaan NU tidak menjadi pilihan mayoritas warga Jabar harus dimaknai bahwa potensi potensi radikalisme sangat besar di Jabar, bahkan menurut temuan survey LIPI di atas provinsi tertinggi potensi radikalisme nya.


Tanggungjawab NU Jabar ke depan tidak cukup sekedar mengkalim diri ormas Islam terbesar di Jabar,  tidak sekedar happy ikut irama dan dilibatkan dalam program pemerintah provinsi Jabar melainkan ikut "memaksakan" bagaimana desain gerakan deradikalisasi NU di Jabar sebagai jangkar terakhir politik kebangsaan mendominasi alam pikiran warga jabar dengan injeksi programatik dari pemerintah provinsi Jabar.


Selamat Konferwil NU Jabar ke XVIII. Semoga sukses lancar dan berkah.


Wassalam.

TAG#ADLAN DAIE, #PWNU

198736830

KOMENTAR