MEMBACA KRITIK KERAS GUS MUS TERHADAP PBNU

Oleh : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
"Urusan NU memenangkan Indonesia, bukan memenangkan capres. Saya sudah niat keluar (walk out) dari sini (forum konbes NU) kalau ketua umum dan Rois 'Am bicara pilpres".
Itulah kritik keras Gus Mus kepada PBNU, tidak main main, sangat keras untuk ukuran Gus Mus, tokoh kharismatik NU selama ini sangat dikenal bertutur kata "lembut" dan "puitis".
Terlebih kritik keras Gus Mus di atas disampaikan dalam forum setingkat "konbes" NU di Jogyakarta beberapa hari lalu (29/1/2024), sebuah kritik untuk menjaga martabat NU sebagai ormas Islam besar agar tidak "jatuh" hanya sekedar menjadi "relawan politik" musiman.
Dalam konstruksi lain kritik keras Gus Mus di atas hendak menegaskan kepada para elite PBNU bahwa NU adalah "jami'iyah Diniyah wal ijtima'iyah", ormas Islam dan sosial, jangan dikelola dengan mindset "rasa partai politik", bersifat transaksional dan "deal deal" politik praktis pragmatis.
Posisi politik PBNU memang "high politics", politik tingkat tinggi, politik kebangsaan dan kerakyatan. PBNU tidak boleh menjadi "pihak" yang bersaing dalam kontestasi politik agar kokoh dalam prinsip "tawasut" dan "tawazun", yakni politik keseimbangan dengan daya topang kekuatan politik moral.
Posisi "tawasut" dan "tawazun" bukan jargon politik tapi itulah kekuatan moral politik NU untuk menjaga "hak moral" NU tetap menjadi simpul "tengah" di antara kemungkinan terjadinya konflik sosial dan konflik politik, tidak menjadi bagian dari blok politik praktis tertentu
Dengan kata lain NU meletakkan diri tidak dalam posisi "pihak" dalam blok politik praktis tertentu melainkan seharusnya suara moral bagaimana misalnya negara adil terhadap rakyatnya, mengingatkan para elite dan pejabat untuk menjaga akhlak dan etika bernegara dan mengawal pemilu "jurdil".
Sayangnya akhir akhir ini PBNU relatif "absen" menyuarakan pentingnya akhlak pejabat dalam etika bernegara dan "maslahat" pemilu yang "jurdil" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara justru PBNU terlalu "sibuk" dalam politik praktis, bahkan tak jarang sibuk "bertengkar" dengan PKB, partai "anak kandung" sendiri.
Di sinilah pentingnya kritik keras Gus Mus terhadap PBNU di atas, seorang kiai dengan wibawa kharismatik ke NU an memiliki posisi moral "tinggi":untuk "mengingatkan" pentingnya netralitas PBNU dalam kontestasi politik, mewakili kegelisahan warga NU di level akar rumput.
NU lahir, tumbuh, kuat, besar dan telah diuji dalam sejarah hingga saat ini bukan karena "diasuh" oleh "asupan" rejim penguasa politik.
NU kuat dan eksis sebagaimana pengamatan Mitsuo Nakamura, "peninjau asing" pertama yang menjadi peserta "resmi" Muktamar NU ke 26 tahun 1979 di Semarang, justru karena ditopang kekuatan kultural dan ketaatan spritualitas jama'ah pengikutnya.
Karena itu NU tidak perlu "meng kerdil kerdilkan" diri di hadapan rejim penguasa politik kecuali bekerja sama dalam konteks penguatan "mu'ahadah wathoniyah", penguatan konsensus kebangsaan (Pancasila,NKRI, UUD 45 dan Bhinneka Tunggal Ika).
Itulah tugas NU mengawal arah "kiblat bangsa", bukan mengawal rejim penguasa politik secara pragmatis.
Wassalam.
TAG#ADLAN, #PBNU, #GANJAR MAHFUD
190215413
KOMENTAR