Membaca PDIP Tanpa Effect Jokowi

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik elektoral dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Seberapa besar PDIP mengalami "defisit" elektoral tanpa effect "ekor jas" dari kekuatan politik Jokowi dalam kontestasi pemilu 2024?
Inilah pertanyaan "intimidatif" dan framing sistemik sejumlah lembaga survey penting dijawab berbasis data dan variabel variabel elektoral dalam studi perbandingan antara PDIP bersama Jokowi dan PDIP tanpa Jokowi dalam proyeksi pileg 2024.
Data survey "kompas" jelang pemilu 2014, yakni 10 tahun silam, saat Jokowi hadir sebagai "media darling" dan icon politik baru, PDIP "didesak" media media maintream mendukung pencapresan Jokowi dengan argument elektoral bahwa PDIP akan meraih 36% suara di pileg 2014 "effect elektoral" dari "pesona politik" Jokowi.
BACA:
Tingkatkan Kesejahteraan Rakyat, Ganjar Luncurkan Program Internet Gratis, Cepat, dan Merata
Hasilnya pada pemilu 2014 PDIP "hanya" meraih 18,6%, jauh dari framing optimis lembaga lembaga survey. Pun demikian pada pemilu 2019 saat Jokowi menjadi Presiden "existing" (incumbent atau "petahana") PDIP hanya naik 0,8%, meraih sebesar 19,4%.
Sebaliknya dalam proyeksi pemilu 2024 saat Jokowi "berpisah" jalan dengan PDIP dalam hampir semua potret lembaga survey PDIP berada di atas rata rata sebesar 20% hingga 23%, di atas perolehan PDIP pemilu 2019 (19,4%).
Bahkan dalam survey "dapil" Jawa barat VIII (Cirebon Indramayu) menurut Sigi survey "PolMark" dan "SMRC" periode Oktober s d akhir Desember 2023 PDIP menjadi "pemuncak" dengan kenaikan elektoral secara "eksponensial" (naik 10%).
PDIP di dapil Jabar VIII pada pemilu 2019 sebesar 17%, meraih dua kursi, runner up di bawah partai Golkar sebesar 18% dalam proyeksi pemilu 2024 menurut dua lembaga survey dalam periode tersebut di atas sudah di posisi 27%, potensial meraih tiga kursi DPR RI jika bertahan trend elektoralnya.
Paparan singkat tentang trend data elektoral PDIP di atas hendak menjelaskan:
Pertama bahwa dalam temuan survey Hendri Satrio, Direktur lembaga survey "kedai kopi", rata rata dalam dua pemilu (2014 & 2019) effect Jokowi terhadap trend elektoral PDIP hanya sebesar kurang dari 1%.
Tingginya "aproval rating" atau tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi selain mulai digugat oleh dua pakar survey, yakni Eep saefullah Fatah dan Saeful Mujani secara methodelogis juga basis "aproval rating" tidak selalu berbanding lurus dengan "effect" trend elektoral partai.
Hal itu dapat dibaca dari "mangkraknya" elektoral PSI (seputar 1%), pimpinan Kaesang, putera Jokowi, partai yang dibranding partainya Jokowi di berbagai tebaran "baliho" di seluruh Indonesia.
Kedua, PDIP adalah partai "nasionalis" memiliki "sanad" atau titik sambung ideologis dengan partai nasionalis Indonesia (PNI) yang didirikan bung Karno, ayahanda Megawati tahun 1927, di bandung.
Peta demografi pemilih PNI Bung Karno pada pemilu pertama tahun 1955 dalam studi politik Herbert Feit, advisor "asing" untuk pemilu 1955 dan hasil penelitian Clifford Geertz tentang hasil pemilu 1955, relatif tidak berubah dengan basis elektoral PDIP saat ini
Dalam konteks ini PDIP tidak bisa dibaca dalam konstruksi seberapa besar "pesona" politik seorang tokoh politik bisa "mengatrol" elektoral PDIP melainkan seberapa kuat basis ideologis PDIP "dibumikan" dalam kerja kerja elektoral "kerakyatan" PDIP .
Itulah "pembeda" PDIP sebagai jangkar politik kebangsaan dengan partai partai "nasionalis kebangsaan" lainnya seperti Gerindra, Demokrat dan Nasdem di mana kekuatan elektoral ketiga partai tersebut lebih pada branding elektoral secara "kapitalistik.
Sementara partai Golkar, partai "nasionalis" lainnya produks rejim orde baru kekuatan elektoralnya diikat dalam relasi "realisme pragmatis"- mengutip istilah Dr. Riswanda Imawan. Golkar tidak bersifat ideologis melainkan politik kekaryaan bersifat teknokratis pragmatis.
Dalam konstruksi itulah masa depan PDIP tidak perlu dicemaskan tanpa Jokowi. Kekuatan basis ideologis PDIP, kokohnya kepemimpinan "trah" Soekarno dan kerja kerja kerakyatan kader kader PDIP adalah "kunci".
TAG#ADLAN, #TUANKU RAKYAT, #PDIP, #GANJAR MAHFUD
190215988
KOMENTAR