Membedah Hasil Survey Kepuasan Publik Terhadap Dedi Mulyadi

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Rilis lembaga survey "Indikator Politik" beberapa waktu lalu (28/5/2025) menempatkan Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat di angka sebesar 94% tingkat "kepuasan publik" dalam100 hari kerja sejak dilantik 26 Pebruari 2025.
Tingkat kepuasan publik terhadap Dedi Mulyadi sebesar 94% di atas dalam potret survey lebih rinci dan mendalam yaitu sebesar 40% "sangat puas" dan 54% "cukup puas". Hanya 4% publik merasa "kurang puas".
Bahkan tingkat kepuasan publik terhadap Dedi Mulyadi sebesar 94%, tertinggi dibanding tingkat kepuasan publik terhadap para Gubernur lain di pulau Jawa (Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jogjakarta dan Jawa Timur) dalam perbandingan di level provinsi masing masing.
Di sisi lain rilis survey "Indikator Politik" di atas menyisakan "paradoks" atau pertanyaan tentang perbedaan tingkat kepuasan publik terhadap Dedi Mulyadi yang begitu tinggi dengan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah Jawa Barat yang dipimpin Dedi Mulyadi.
BACA:
Fenomena Dedi Mulyadi Menembus Sekat Sekat Politik Jawa dan Jakarta
Kepuasan publik terhadap kinerja Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak berbanding lurus alias "dibawah" tingkat kepuasan publik terhadap Dedi Mulyadi misalnya soal penanganan kemiskinan hanya 42%, akses permodalan 43%, pembinaan koperasi 43% dan peningkatan kualitas tenaga kerja 47%.
Bagaimana kita memaknai tingkat kepuasan publik terhadap Dedi Mulyadi di atas dalam konteks kerja100 hari kepemimpinannya sebagai Gubernur Jawa Barat?
Bagaimana kita membaca perbedaan atau paradoks tingkat kepuasan publik terhadap Dedi Mulyadi dan terhadap kinerja Pemerintah Jawa Barat yang justru dibawah kepemimpinan Dedi Mulyadi?
Dalam teori survey opini publik tingkat "Aproval rating" atau tingkat kepuasan publik adalah gambaran persepsi publik yang direkam kegiatan survey, tidak sepenuhnya menggambarkan kinerja pemimpin dalam menyelesaikan agenda agenda secara teknokratik.
Teknokrasi dalam definisi praksis para ilmuan di indonesia adalah kerja sistem pemerintahan dalam tata kelola urusan publik yang didasarkan pada keahlian teknis, pengetahuan ilmiah dan kemampuan profesional birokratis secara terukur.
Artinya hasil survey kepuasan publik terhadap Dedi Mulyadi di atas tidak semata mata didorong faktor kinerja secara teknokratis melainkan faktor faktor lain juga membentuk persepsi publik misalnya relasi emosi kesukaan publik terhadap figur pemimpinnya.
Itu pula pernyataan "disclamer" Prof Burhanuddin Muhtadi, tentang hasil survey "Indikator Politik" yang dipimpinnya bahwa tingkat kepuasan tersebut tidak sepenuhnya out put kinerja teknoktatis tetapi juga karena dorongan relasi kesukaan terhadap figur Dedi Mulyadi.
Intensitas Dedi Mulyadi "turun" langsung ke akar rumput dengan gebrakan kebijakannya yang dinarasikan kuat kuat di media sosial salah satu faktor determinan yang mempengaruhi tingkat kepuasan publik terhadap Dedi Mulyadi jauh lebih tinggi dari kinerja birokrasi yang dipimpinnya.
Effect partisan dan dorongan dorongan impulsif mempengaruhi persepsi publik dengan kecenderungan publik untuk lebih menghargai pemimpinnya dibanding kinerja institusi yang dipimpinnya, suatu hal yang lumrah dalam relasi patronase kultural politik di Indonesia.
Karena itu dalam konteks di atas dapat dimaklumi perbedaan tingkat kepuasan publik terhadap Dedi Mulyadi dengan tingkat kepuasan publik atas kinerja sejumlah sektor dalam pemerintahan Jawa Barat yang dipimpin Dedi Mulyadi meskipun harus menjadi catatan penting dalam kerja kerja teknokratik.
Memang waktu100 hari tidak memadai bahkan tidak logis seorang pemimpin bisa menyelesaikan masalah publik secara teknokratik dalam eksekusi memenuhi janji janji politiknya
Tetapi dalam ruang sistem politik demokrasi mengukur tingkat kepuasan publik terhadap pemimpin begitu penting :
Pertama, tingkat kepuasan publik terhadap seorang pemimpin meskipun dalam teori survey "opini publik" tidak sepenuhnya menggambarkan kinerja teknokratis paling tidak menggambarkan kepercayaan publik atas kesungguhan niat pemimpinnya dalam mengelola urusan publik yang dinilai dari kebijakan dan perilaku politiknya.
Kepuasan publik yang tinggi adalah kepercayaan publik yang tinggi. Inilah modal paling berharga bagi seorang pemimpin untuk memperkuat daya dorong psyikhologis institusi yang dipimpinnya untuk merubah minset, memperbaiki kinerja dan komunikasi publik dalam mempercepat respon atas ekspektasi publik.
Kedua, sebaliknya kepuasan publik yang rendah apalagi jika 60% ke bawah terhadap pemimpinnya dalam teori survey opini publik akan menyulitikan seorang pemimpin meyakinkan publik atas kesungguhannya dalam memimpin tata kelola kehidupan publik yang dipimpinnya.
Bahkan daya dorong power pengaruhnya akan melemah atas institusi yang dipimpinnya untuk bekerja secara terukur dan profesional yang dalam teori survey opini publik diapresiasi dalam bentuk tinggi atau rendahnya tingkat kepercayaan publik.
Tingkat kepuasan publik 60% ke bawah adalah "lampu kuning", sebuah potret keraguan publik atas kesanggupan dan kesungguhan niat kerja pemimpinnya untuk maslahat publik kecuali menampilkan gebrakan kebijakan "eksponensial".
Artinya, eksekusi kebijakan kebijakan publik harus cepat dan relasional dengan kebutuhan publik, tidak sekedar sibuk merencanakan rencana untuk direncanakan dalam rencana rencana alias "omon omon" belaka.
Perspektif di atas hendak menjelaskan bahwa dalam sistem demokrasi kepercayaan publik atas pemimpinnya apakah sudah bekerja sangat meyakinkan atau sebaliknya meragukan publik dapat dipotret dalam survey tingkat kepuasan publik dengan segala turunan implikasi politis dan evaluasi kerja teknokratis.
Dengan kata lain karena pemimpin dalam rejim elektoral dipilih rakyat maka dinamika kepemimpinannya diukur pula dengan basis tingkat kepuasan publik, tidak didasarkan pada klaim klaim sepihak para pendukung atau sebaliknya para "oposan" dengan memuntahkan narasi dan potongan vidio vidio pendek di media sosial.
Dalam konteks inilah kita membaca survey tingkat kepuasan publik begitu tinggi terhadap Dedi Mulyadi diatas dalam konteks kerja 100 hari sejak dilantik menjadi Gubernur Jawa Barat meskipun tentu tingkat kepuasan publik bersifat dinamis dan fluklatif.
Tapi setidaknya inilah gambaran saat ini bahwa keyakinan publik terhadap Dedi Mulyadi sebagai pemimpin begitu tinggi sehingga dapat menjadi modal injeksi psyikhologis untuk mempercepat dan memperbaiki kelambatan sektor sektor institusi dibawah kepemimpinannya dalam menjawab ekspektasi publik yang tinggi.
Pertanyaan epilognya bagaimana dampak tingkat kepuasan publik terhadap pemimpin dalam relasi kecenderungan trend elektoral ke depan atau jika kepuasan publik rendah akan kah menimbulkan "turbulensi" atau goncangan eskalasi politik?
Mari tunggu analisis tulisan edisi lebih lanjut.

KOMENTAR