Menghitung Dampak Resesi Perekonomian AS terhadap Indonesia

Jakarta, Inako
Perekonomian Amerika Serikat (AS) tengah dihantui kecemasan akan terjadinya perlambatan ekonomi yang berujung resesi.
Hal ini diawali pada 4 Desember lalu ketika terjadi inversi atau pembalikan imbal hasil (yield) obligasi AS tenor tiga dan lima tahun. Yield obligasi bertenor lima tahun seharusnya lebih tinggi dibandingkan tiga tahun karena investor ingin imbal hasil yang lebih tinggi karena memeng surat utang itu dalam periode yang lebih panjang.
Namun, hari itu yield terbalik yang mengindikasikan bahwa pelaku pasar memperkirakan akan terjadi risiko ekonomi yang lebih besar dalam jangka pendek.
Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps).
Dalam tiga resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor tiga dan lima tahun rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai, dilansir dari CNBC International yang mengutip Bespoke.
Selain itu, dalam tiga resesi terakhir yang terjadi di AS, selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor tiga bulan dan 10 tahun rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor tiga dan lima tahun.
Masalahnya, spread yield obligasi tenor tiga bulan dan 10 tahun terus saja menipis, walaupun angkanya masih positif (inversi belum terjadi). Per awal bulan lalu, nilainya adalah sebesar 82 basis poin (bps). Per akhir perdagangan hari Jumat (7/12/2018), nilainya tersisa 45 bps saja, seperti yang diliris newsletter Tim Riset CNBC Indonesia.
Hal ini membuat cemas pasar. Jumat pekan lalu, Wall Street kembali anjlok karena kekhawatiran terkait resesi ini yang ditambah dengan makin tak pastinya nasib kesepakatan dagang AS-China.
Indeks Dow Jones turun 2,24%, indeks S&P 500 melemah 2,33%, dan indeks Nasdaq Composite terkoreksi 3,05%.
Sepanjang pekan lalu, tiga indeks utama Wall Street itu amblas. iDow Jones anjlok 4,5%, indeks S&P 500 ambruk 4,6%, dan indeks Nasdaq Composite terpangkas 4,93%. Koreksi yang begitu dalam membuat indeks Dow Jones dan S&P 500 kini membukukan imbal hasil negatif secara year-to-date.
Alami Pelambatan
Meski saat ini terlihat kuat, ternyata telah ada banyak pihak yang meramalkan ekonomi AS akan melambat dalam beberapa tahun ke depan.
Beberapa penyebabnya adalah perang dagang yang tak berkesudahan dengan China dan beberapa rekan dagang utama Negeri Paman Sam, seperti negara-negara Uni Eropa dan Jepang, dan memudarnya dampak stimulus fiskal berupa pemotongan pajak yang diterapkan pemerintahan Presiden Donald Trump.
April lalu orang-orang superkaya dunia atau crazy rich ternyata telah memprediksi AS akan mengalami resesi.
Resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Sebanyak 75% investor superkaya saat itu memprediksi AS yang merupakan perekonomian terbesar di dunia akan menghadapi resesi di 2020, Hal ini terungkap dalam survei JPMorgan.
Dari mereka yang memprediksi perlambatan ekonomi AS, lima orang atau 21% dari responden yakin kelesuan akan dimulai tahun 2019. Sementara itu, 50% responden memprediksi perlambatan ekonomi akan dimulai tahun 2020.
Spring Investment Barometer dari JPMorgan Private Bank mengadakan survei terhadap lebih dari 700 klien miliuner global di seluruh Eropa dan Timur Tengah.
Kategori superkaya (ultra-high net worth individuals/HNWI) umumnya menggolongkan siapapun yang memiliki aset keuangan yang cair senilai lebih dari US$ 30 juta (Rp 434,5 miliar), sementara itu kategori kaya didefinisikan dengan kepemilikan aset senilai lebih dari US$1 juta.
Kepala ekonom Dana Moneter Internasional (IMF) Maurice Obstfeld juga mengatakan ekonomi AS akan mulai melambat tahun depan dan semakin terpuruk di 2020.
Namun, ia mengatakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu tidak akan mengalami resesi baru.
"Kami telah lama memperkirakan pertumbuhan (AS) yang lebih rendah di 2019 dibandingkan apa yang kita lihat tahun ini," karena dampak stimulus fiskal dan anggaran pemerintahan Presiden Donald Trump yang mulai menghilang, ujarnya.
"Perlambatan itu akan menjadi lebih dalam lagi kemungkinan di 2020 dibandingkan di 2019, menurut data yang kami cermati," kata Obstfeld, dilansir dari AFP, Senin.
IMF sebelumnya telah merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan 2019 untuk AS menjadi 2,5% dari 2,8% tahun ini.
Sementara itu, Co-President JPMorgan Chase Gordon Smith bulan lalu mengingatkan bahwa kecemasan para pelaku pasar akan terjadinya resesi justru bisa benar-benar menjerumuskan AS ke dalam resesi itu sendiri.
"Ada banyak volatilitas di pasar ekuitas, banyak pembicaraan tentang seberapa terlambat kita dalam siklus dan khawatir tentang siklus ini," kata Smith.
"Itu pada akhirnya akan menyebabkan keyakinan bisnis memburuk, pada akhirnya akan mengarah pada penurunan belanja perusahaan, yang pada akhirnya akan mengarah pada minggu kerja yang lebih pendek untuk orang-orang yang dibayar per jam, yang pada akhirnya akan menyebabkan pengangguran mulai meningkat, dan kita akan mengembangkan resesi kita sendiri."
Ia sebenarnya optimistis tentang pertumbuhan ekonomi selama satu atau dua tahun ke depan melihat rendahnya angka pengangguran. Namun, ada risiko bahwa para pelaku pasar justru memicu resesi lebih dahulu.
"Semua data akan menunjukkan bahwa ekonomi kuat," kata Smith. "Tapi ada bahaya, bahwa hanya melalui retorika dan kekhawatiran, kita benar-benar mendorong diri kita sendiri ke dalam resesi lebih awal dari biasanya."
Dampak bagi Indonesia
Lantas muncul pertanyaan apa yang akan terjadi pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, bila resesi benar-benar melanda AS.
Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia, apa yang terjadi di Negeri Paman Sam tentu akan berdampak juga ke Indonesia meskipun tentu AS-lah yang paling dirugikan. Saham-saham Wall Street dan dolar AS akan dilepas investor yang beralih ke memeluk emas yang merupakan aset safe haven.
Ini akan membuat pasar saham dalam negeri ditinggal investor dan nilai tukar rupiah akan melemah karena pelaku pasar kehilangan risk appetite-nya.
Hal serupa terjadi saat krisis subprime mortgage terjadi di 2007-2009 yang juga mengguncang pasar keuangan seluruh dunia.
Para ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro dan Ananka, dalam risetnya Kamis pekan lalu menekankan risiko arus keluar modal asing dari Indonesia bila AS benar-benar mengalami risiko.
Jika kondisi ekonomi AS memburuk di 2019, perekonomian global akan masuk ke dalam situasi di mana investor enggan mengambil risiko. Hal ini akan meningkatkan permintaan aset-aset safe haven dan memperkuat dolar AS serta menyedot likuiditas dari negara-negara pasar berkembang, tulis Bahana.
"Ekspor Indonesia dapat juga menjadi korban dari melambatnya pertumbuhan AS. Dari Januari hingga Oktober, Indonesia menikmati surplus perdagangan US$7,1 miliar dengan AS - surplus perdagangan terbesar kedua yang Indonesia catatkan tahun ini," tambahnya.
TAG#Amerika Serikat, #Indonesia, #Resesi, #Resesi Ekonomi, #Investor
190216068
KOMENTAR