Menimbang Kritik Keras Ketum PBNU

Oleh. : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat
Indramayu, Inako
Kritik keras Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ketum PBNU) Said Aqil Siradj terhadap rezim Jokowi yang viral di platform media sosial sebenarnya sederhana, ibarat jamu pahit menyehatkan bagi metabolisme tubuh. Penyeimbang agar tubuh rezim Jokowi tidak obisitas terlalu overdosis mengkonsumsi 'gula' puja-puji yang selama ini dimanjakan media mainstream, media sosial dan lembaga survey milik para tuan pendukung politiknya.
Kritik keras Ketum PBNU di atas adalah bagian inheren dari tradisi NU, sejarah daur ulang mengingatkan kita atas kritik keras NU terhadap rezim orde lama dan orde baru dulu dengan elastisitas yang rumit dibaca standing politiknya jika tidak disandarkan pada pendekatan kzanahan tradisi ke NU-an.
Di era orde lama NU dicibir kelompok Islam lain standing politiknya dipandang terlalu kompromistis masuk dalam poros politik kaki tiga model Bung Karno, yakni Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis).Tahun 1954 dalam acara Munas Alim Ulama di Puncak, Cianjur, Jawa Barat, NU melegitimasi kepemimpinan Bung Karno dengan memberinya gelar waliyul amri ad dhoruri bisy syaukah, pemimpin darurat dengan kekuasaan penuh. Gelar tersebut menurut penelitian Gret Fealy, Profesor politik di Monash University, peneliti tentang NU, dicabut kembali oleh jajaran syuriah NU Jawa Barat pada tahun 1965 karena keengganan Bung Karno menyalahkan PKI dalam tragedi G 30 S PKI.
Di era orde baru, pasca membantu pemberangusan anasir gerakan 30 S PKI, NU lalu ditepikan dari lingkar kekuasaan.Tahun 1973, fraksi partai NU di DPR RI secara radikal menolak RUU tentang perkawinan versi pemerintah dengan aksi walk out dari gedung DPR RI dipimpin langsung ketua fraksi, KH.Bisri Syamsuri sekaligus Rois 'am PBNU. Perjuangan politiknya berhasil menggolkan Undang-undang tentang perkawinan versi NU dengan mengadopsi norma syariat yang dikembangkan dari khazanah kitab kuning, kitab khas tradisi pesanren sebagaimana dikuatkan hasil penelitian Dr. Zamakhsyari Dhafir dalam bukunya Tradisi Pesantren.
Tahun 1978 fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di MRP RI dengan faksi terbesarnya NU mempelopori penggagalan tekanan rezim orde baru memasukkan aliran kepercayaan dalam TAP MPR RI menjadi bagian dari agama resmi yang diakui negara.Sebaliknya, tahun 1984 saat semua ormas Islam menolak keras diberlakukannya asas tunggal Pancasila, NU melalui muktamar di Situbondo Jawa Timur, tahun 1984 dengan penuh meyakinkan mempelopori penerimaan asas tunggal Pancasila sebagai ideologi dan falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian sekelumit liku-liku politik NU dalam merespons dinamika politik kebangsaan dan kenegaraan. Di satu sisi orang luar memandang NU terlalu mudah kompromistis dengan rezim penguasa dan sisi lain tak jarang rezim penguasa menudingnya radikal. Elastisitas standing dan sikap politik NU memang tidak mudah dibaca orang luar kecuali memahami pendekatan fiqih dan metodologi istimbathul hukm, proses pengambilan keputusan berbasis qoidah fiqhiyah dan ushul.fiqih khas tradisi NU di pesantren.
Dalam perspektif pendekatan diatas itulah, sesungguhnya kritik keras Ketum PBNU terhadap rezim Jokowi di atas adalah bagian dari sejarah elastisitas standing dan sikap politk NU dalam perjalanannya sejarahnya. Jika sebelum Pilpres 2019 NU tampak bersama dan seiring sejalan dengan rezim Jokowi lalu pasca pembentukan Kabinet Indonesia Maju (KIM) mulai merenggang harus kita letakkan pada level perubahan tantangan dalam perspektif NU yang dihadapi bangsa. Mulai bergeser dari tantangan radikalisme ke intoleransi ekonomi yang potensial menjadi titik sumbu pemantik benih-benih disintegrasi bangsa.
Karena itu, klarifikasi dan bantahan Sri Mulyani, Menteri Keuangan tidak perlu bombastis menjawab kritik Ketum PBNU di atas, terlebih diframing seolah olah MoU antara PBNU dengan Menteri Keuangan terkait penggerontoran dana kredit lunak Rp 1,5 triliun untuk pemberdayaan koperasi dan UMKM di lingkungan NU telah dilaksanakan di sejumlah pesantren besar di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sebuah klarifikasi menyesatkan di luar konteks MoU tersebut dan tidak menyentuh substansi persoalan dasar tentang ancaman bahaya makin tajamnya intoleransi dan kesenjangan ekonomi yang secara update dihadapi bangsa dan negara.
Muktamar NU ke 34 tahun 2020 di provinsi Lampung, Sumatera, haruslah menjadi momentum bagi NU untuk meneguhkan kembali standing kesetiaan politiknya terhadap pilar -pilar kebangsaan dan kenegaraan, yakni Pancasila, Binneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 (PBNU) dengan meminimalisir keterlibatan anasir pemerintah dalam substansi materi dan teknis pelaksanaannya kecuali hal-hal bersifat koordinatif dan tidak intervensif.
NU harus kembali tegak lurus menjadi gerakan kekuatan masyarakat sipil (civil sociaty) dan penyeimbang kritis di tengah-tengah oligarkhi partai, media mainstream, media sosial dan sejumlah lembaga survey memanjakan rezim Jokowi dengan segala puja-puji hanya untuknya.
Belajarlah dari sejarah kearifan bangsa saat dulu Bung Karno dan Soeharto obisitas dan overdosis dipuja-puji tanpa jamu pahit kritik konstruktif dan proporsional begitu mudahnya jatuh penuh nista, nestapa dan kehilangan marwah harga diri tak bertepi. Semoga sejarah pahit bangsa tak terulang kembali.
Semoga bermanfaat.

KOMENTAR