Menyimak Program Ekonomi Selama Orde Baru

Sifi Masdi

Wednesday, 21-11-2018 | 12:28 pm

MDN
Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya Titiek Soeharto [inakoran.com]

Jakarta, Inako

Program pembangunan ekonomi di masa Orde Baru (Orba) kembali menghangat karena dijadikan sebagai salah satu bahan kampanye oleh kubu Prabowo-Sandiaga Uno dalam ajang Pilpres 2019. Fenemena Orba mencuat setelah Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya Titiek Soeharto mengungkit zaman Orde Baru dalam kampanyenya. Dia mengatakan, jika Prabowo menang Pilpres akan dilanjukan program-program Orde Baru.

Lalu sebenarnya seperti apa kondisi perekonomian RI saat periode Orde Baru?

Perekonomian dalam masa Orde Baru ada beberapa kejadian penting. Dimulai ketika Soeharto dilantik menjadi Presiden menggantikan Soekarno pada 1967.

Pada saat itu disebut-sebut sebagai masa pemulihan ekonomi. Sebelum peralihan tongkat kepemimpinan memang tengah terjadi gejolak perekonomian.

Pemerintah Orde Lama tak bisa mengatasi krisis ekonomi yang terjadi di penghujung 1950-an. Imbasnya sempat terjadi meroketnya inflasi (hiperinflasi) yang mencapai 635% pada 1966.

Dengan berbagai kebijakan ekonomi, pemerintah Orde Baru mampu meredam hiper inflasi itu. Franciscus Xaverius Seda (Menteri Keuangan 1966-1968) menjadi aktor utama dari upaya menekan inflasi menjadi 112%.

Frans Seda mengatasi permasalahan ekonomi saat itu dengan cara menerapkan model anggaran penerimaan dan belanja yang berimbang. Hal itu untuk meredam imbas dari kebijakan pemerintahan sebelumnya yang rajin mencetak uang. Upaya yang dilakukan pemerintah Orde Baru terbilang berhasil saat itu. Ekonomi RI mulai stabil.

Salah satu vitamin dari sembuhnya perekonomian ketika RI dibawah pimpinan Soeharto kembali bergabung dengan lembaga pemberi utang dunia alias International Monetary Fund (IMF) pada 1967. Sebelumnya Presiden Soekarno sudah mencabut keanggotaan Indonesia di IMF pada 1965 karena permasalahan politik.

Ada beberapa catatan penting sejak pemerintahan Orde Baru menjadi anggota IMF. Pada periode 1974-1982 Indonesia mengalami booming minyak. Tingginya harga minyak di pasar internasional membuat pemerintah orde baru mendapatkan pemasukan yang cukup besar.

Pada 1977 Indonesia memproduksi begitu banyak minyak hingga mencapai 1,68 juta barel perhari, sementara konsumsi BBM rakyat Indonesia hanya sekitar 300.000 barel per hari. Ini yang menyebabkan Indonesia masuk dalam organiasasi OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries).

Besarnya pemasukan negara dari sektor minyak, membuat pemerintah orde baru memiliki amunisi untuk melakukan pembangunan. Pembangunan yang dilakukan diarahkan pada tujuan sosial.

Menurut data sejarah yang dicatat Bank Indonesia (BI), kondisi itu memungkinkan pemerintah memacu kegiatan pembangunan ekonomi dan melaksanakan program pemerataan pembangunan lewat penyediaan kredit likuiditas, termasuk pemberian kredit untuk mendorong kegiatan ekonomi lemah.

Namun, pengucuran deras kredit perbankan tersebut mengakibatkan uang beredar meningkat dalam jumlah yang cukup besar. Akibatnya, tingkat inflasi 1973/1974 melonjak tajam menembus angka 47%.

Pemerintah Orde Baru kembali berbenah diri dengan melakukan program stabilisasi. Pada 1974/1975 inflasi pun turun menjadi 21%.

Hal ini memberi peluang Pemerintah untuk menurunkan suku bunga deposito dan kredit jangka pendek terutama ekspor dan perdagangan dalam negeri pada Desember 1974 guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

Akan tetapi pelonggaran itu justru menimbulkan tekanan inflatoir sehingga mengakibatkan lemahnya daya saing produk Indonesia di luar negeri karena nilai rupiah menjadi over valued.

Pada 15 November 1978 pemerintah mengambil kebijakan yang dikenal dengan KNOP 15 yang mendevaluasi Nilai Rupiah sebesar 33,6% dari Rp 415 per US$ menjadi Rp 625 per US$. Sejak saat itu pula sistem nilai tukar diubah menjadi sistem nilai tukar mengambang terkendali dengan mengaitkan mata uang Rupiah dengan sekeranjang mata uang mitra dagang utama.

Ekonomi Indonesia juga terguncang ketika anjloknya harga minyak dunia yang terjadi pada 1980-an karena banjirnya pasokan minyak dunia. Harga minyak mentah dari US$ 35 per barel turun menjadi kurang dari US$ 10 pada 1986.

"Krisis ekonomi tahun 1980-an awal negara bangkrut karena harga minyak turun di bawah US$ 10 per barrel. Pertamina bangkrut dan negara bangkrut karena 80% pendapatan negara berasal dari minyak," kata Ekonom Indef Didik J Rachbini.

Saat itu Pertamina mengalami kerugian hingga US$ 10,5 miliar. Ibnu Sutowo yang saat itu menjadi Dirut Pertamina dituding korupsi dan menjadi penyebab kebangkrutan Pertamina.

Saat itu, kata Didik, pemerintah menyelesaikan sengkarut perekonomian dengan strategi dan kebijakan ekonomi outward looking, yaitu menggalang ekspor dan daya saing nasional.

"Dari kebijakan ini maka ekspor kita berkembang dari hanya US$ 20-30 miliar menjadi lebih dari US$ 100 miliar," tambahnya.

Saat itu juga kerap disebut sebagai periode liberalisasi. Pemerintah Orde Baru melakukan liberalisasi pada sektor industri, pertanian dan pangan.

Dengan memanfaatkan upah buruh yang murah, pemerintah Orde Baru mencoba untuk menarik investor asing. Investor asing juga masuk ke sektor pertanian dengan memproduksi pupuk kimia dan pestisida.

Loncat hingga ke penghujung pemerintahan Orde Baru mulai terjadi tanda-tanda krisis ekonomi sejak 1997. Gelombang dimulai dari Thailand, meskipun Indonesia saat itu belum terlihat gejala krisisnya.

Namun saat itu banyak dari perusahaan nasional yang memiliki utang di luar negeri. Rupiah mulai melemah pada Agustus 1997.

Memasuki pertengahan 1997 Indonesia pun meninggalkan sistem kurs terkendali. Penyebabnya, cadangan devisa Indonesia rontok karena terus-terusan menjaga dolar AS bisa bertahan di Rp 2.000-2.500.


 

KOMENTAR