Nahdlatul Ulama dan Rezim Jokowi

Oleh. : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat
Indramayu, Inako
Kritik keras Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) terhadap rezim Jokowi yang viral di platform media sosial terkait ketimpangan sosial dan janji Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menggelontorkan dana kredit lunak Rp 1,5 T bagi warga NU dan masyarakat miskin lainnya yang hingga memasuki periode kedua rezim Jokowi dengan Menteri Keuangan yang sama hanyalah selembar indah MoU, oleh sebagian pihak dipandang menandai akhir kemesraan hubungan NU dan rezim Jokowi.
Dalam dinamika sejarah politik di Indonesia memang tidak mudah membaca standing politik NU. Satu sisi dipandang terlalu mudah bermesraan, kompromistis dan bahkan opurtunistik dengan rezim penguasa akan tetapi di sisi lain tak jarang di stigma radikal oleh rezim penguasa. Andree Filiail dan George Barton, dua peneliti politik yang sangat tekun mengamati dinamika politik NU tak luput mengalami kesulitan menarik benang merah tentang sikap politik NU. Bahkan orang luar memandang NU konsisten dengan sikap ketidak konsistennya (inkonsistensi).
Sikap politik inkonsisten (baca: elastis) di atas dalam tradisi NU disandarkan pada pendekatan fiqih dan qaidah fiqhiyah, hal mana perubahan sikap politik (bahkan perubahan status hukum sesuatu) tergantung 'illat', sebab yang menyertainya (Al hukmu yadluru ma'al illlatih) dengan rasionalitas pertimbangan mendahulukan pencegahan efek daya rusaknya dibanding kemungkinan manfaat yang dapat diperolehnya (Dar ul mafasid muqaddam 'ala jalbil mashalih).
Dalam perspektif pendekatan itulah kita letakkan kritik keras Ketua Umum PBNU di atas. Kemesraan NU bersama rezim Jokowi sebelum dan jelang kontestasi Pilpres 2019 kita letakkan dalam konteks pencegahan terhadap penguatan arus gerakan radikalisme agama yang ditenggarai menyusup ke salah satu kontestan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan isu-isu politik identitas yang mengeras dan mengganggu toleransi dan moderasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebaliknya pasca Pilpres 2019 bergabungnya Prabowo dalam koalisi rezim Jokowi telah menggeser tantangan kebangsaan bagi NU dari radikalisme ke persoalan kesenjangan sosial dan intolerasi ekonomi yang makin tajam. Sebuah perubahan sikap politik tanpa tekanan politik massa jalanan sebagaimana dilakukan kelompok-kelompok tertentu yang lebih banyak mendatangkan mudlorot dan potensial mengganggu kepentingan umum (maslahah 'ammah).
Memang tak dapat dihindari bahwa kritik keras Ketua Umun PBNU di atas juga untuk mengingatkan Jokowi atas kontribusi elektotal warga NU terhadapnya dalam kontestasi Pilpres 2019. Kontribusi elektoral yang oleh para pengamat politik disebut The strong voters, penentu elektoral kemenangan dan keterpilihan Jokowi. Jokowi harus arif dan bijaksana menghindari kesan seolah-olah NU ibarat tebu diambil manisnya dibuang ampasnya.
Di sisi lain NU harus bergeser kembali ke khittah perjuangan politiknya dengan istiqamah meletakkan kesetiaan NU pada pilar-pilar negara dan bangsa, yakni Pancasila, Binneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 (PBNU), tidak pada level kebijakan rezim Jokowi yang tak jarang kontra produktif dengan ikhtiar penguatan pilar-pilar negara dan bangsa di atas, antara lain, pemantiknya adalah ketidak adilan sosial dan intoleransi atau kesenjangan ekonomi yang sangat tajam.
Perjalanan 20 tahun era reformasi yang menjanjikan ruang kebebasan politik di era rezim Jokowi mulai berhenti di level formalisme demokrasi dan prosedur politik ketatanegaraan. Tidak substantif dan tidak korelatif dengan hajat hidup politik rakyat yang memandatkan suaranya kepada rezim jokowi, pemegang mandat kekuasaan politik.
Ruang kebebasan politik di era rezim Jokowi mulai bergeser ke arah oligarkhi polilik yang dikendalikan tunggal pemilik saham politik terbesarnya kini menumpuk di lingkar kekuasaan rezim Jokowi. Kepentingan publik hanya diperhatikan jika tidak berbenturan dengan kepentingan bisnis korporasi politiknya. Politik sebagai jalan mulia dan beradab untuk mengadvokasi pembelaan kepentingan publik berubah 180 derajat menjadi alat proteksi kepentingan bisnis korporasi politknya.
NU sebagai jam'iyah diniyah wal ijtimaiyah (ormas keagamaan dan sosial kemasyarakatan) harus hadir kembali menjadi pelopor gerakan masyarakat sipil (civil sociaty) mengingatkan rezim Jokowi untuk tidak semata-mata bersandar pada hak-hak prerogatif dalam jabatan kepresidenanya dalam mengambil keputusan, misalnya, pengangkatan Menteri, Stafsus Kepresidenan, perubahan regulasi peraturan perundangan-undangan dan Perpers untuk sekedar akomodasi politik pendukungnya melainkan harus menyelam ke dalam suasana kebatinan kepentingan rakyat yang dipimpinnya.
NU sebagai kekuatan politik kebangsaan bersama kekuatan masyarakat sipil lainnya harus tampil kembali mengingatkan partai-partai politik di lembaga legislatif untuk tidak diam dan absen melakukan kritik terhadap rezim Jokowi atas bangkrutnya BUMN Jiwasraya dengan kerugian puluhan triliun dan gagal bayar terhadap jutaan rakyat pemegang polis, semrawutnya management BUMN-BUMN lain, amburadulnya tata kelola ekonomi, ketimpangan pengelolalan sumber daya alam dan potensi disharmoni sosial akibat makin tajamnya gini rasio ekonomi masyarakat.
NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia harus hadir kembali sebagai gerakan penyeimbang (harokah wasathiyah) sebagaimana era dipimpin KH. Abdurahman Wahid (Gusdur),mengingatkan rezim Jokowi untuk arif dan bijak belajar dari kejatuhan rezim Soeharto yang tidak dipicu oleh pelanggaran konstitusi melainkan krisis kepercayaan publik akibat kebijakan-kebijakannya hanya disandarkan pada hak-hak prerogatifnya yang tidak mencerminkan suasana kebatinan rakyat yang dipimpinnya.
Pencitraan politik, branding media mainstream dan media sosial yang selama ini memanjakan rezim Jokowi serta kekuatan politik pendukungnya yang sangat besar sebagaimana rezim Soeharto tidak akan mampu menbendung arus kegelisahan publik jika tidak meletakkan kebijakan-kebijakannya manutun bil maslahah, sejalan dengan suasana kebatinan publik yang terganggu secara psikhologis terhadap kesenjangan sosial seperti diingatkan Ketua Umum PBNU diatas.
Dalam konteks ini, seharusnya rezim Jokowi berterima kasih kepada Ketua Umum PBNU yang telah mengingatkannya secara beradab akan bahaya disintegrasi bangsa melalui hulu ledak ketimpangan ekonomi yang sangat tajam. Tidak direspon secara apalogis lewat konferensi pers juru bicara Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti atas kritik Ketua Umun PBNU di atas, justru makin menyesatkan di luar pokok persoalannya dan memantik kemarahan warga NU.

KOMENTAR